"الله جميل يحبّ الجمال"

Allah Itu Indah, Mencintai Keindahan

Sabtu, 30 Mei 2009

KONSEP PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF IBNU KHALDU

KONSEP PENDIDIKAN
DALAM PERSPEKTIF IBNU KHALDUN
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tuga Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islan yang Dibina Oleh Bapak Siswanto, M.Pd.I
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
APRIL 2009

KATA PENGANTAR
Maha suci Allah, segala puji baginya, tiada Tuhan selain Dia. Dialah yang menabur hikmah benih-benih kehidupan. Dialah yang memiliki nama-nama indah, dan hanya dialah yang Maha kuasa atas segala sesuatu. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah SAW, teladan utama bagi manusia dan rahmat bagi seluruh alam. Rasa syukur filhamdulillah dipanjatkan kehadirat-Nya yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Konsep Pendidikan Dalam Perspektif Ibnu Khaldun”.
Pada kesempatan ini penulis pergunakan untuk mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Dan penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya. Karena itu penulis menunggu saran dan kritik sebagai upaya perbaikan dan penyempurnaan untuk makalah selanjutnya.
Akhirnya kepada-Nya kami berharap, semoga makalah ini bermanfaat. Amin ya rabb alamin.
Pamekasan, April 2009
Penulis
Nilliya Megawati
_____________________________________________________________

BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG MASALAH
Dewasa ini dalam dunia pendidikan khususnya pendidikan islam banyak diterpa masalah yang tak kunjung usai. Sedangkan tidak semua masalah dalam dunia pendidikan dapat dipecahkan dengan menggunakan metode ilmiah semata. Diantara masalah dalam dunia pendidikan sedikit banyaknya memerlukan pendekatan filosofis dalam pemecahannya. Analisis filsafat terhadap masalah-masalah tersebut diharapkan dapat menghasilkan pandangan-pandangan tertentu mengenai masalah-masalah tersebut. Dari fenomina tersebut lahirlah apa yang dinamakan filsafat pendidikan islam. Uraian mengenai filsafat pendidikan islam diharapkan akan banyak memberikan gambaran dan kemudahan dalam memahami problematika dunia pendidikan islam. Munculnya filsafat pendidikan islam sebagai suatu ilmu baru adalah sebagai akibat adanya hubungan timbal balik antara filsafat dan pendidikan dalam islam untuk memecahkan dan menjawab masalah-masalah pendidikan islam secara filosofis.
Dalam kajian makalah tentang filsafat pendidikan islam penulis menghususkan pada konsep pendidikan dalam perspektif Ibnu Khaldun.
RUMUSAN MASALAH
• Bagaimana riwayat Ibnu Khaldun?
• Bagaimana konsep pendidikan islam menurut Ibnu Khaldun?
TUJUAN
• Untuk mengetahui riwayat hidup Ibnu Khaldun
• Untuk mengetahui konsep pendidikan menurut Ibnu Khaldun
BAB II
PEMBAHASAN
RIWAYAT SINGKAT HIDUP IBNU KHALDUN
Dunia mendaulatnya sebagai “bapak sosiologi islam”. sebagai salah satu seorang pemikir hebat dan serba bisa sepanjang masa, buat pikirnya amat berpengaruh. sederet pemikir barat terkemuka, seperti Georg Wilhelm, Friedrich Hegel, robert Flint, Arnold J Toynbee, Ernest Gellner, Franz Rosenthal, dan Arthur Lager Mengagumi pemikirannya.
Tak heran, pemikir arab, Nj Dawood menjulukinya sebagai negarawan, ahli hukum, sejarawan dan sekaligus sarjana. Dialah Ibnu Khaldun, ilmuwan besar yang terlahir pada tanggal 27 Mei 1332 atau 1 Ramadhan 732 H di Tunisia. Oleh ayahnya ia diberi nama Abdur Rahman Abu Zayd Ibn Muhammad Ibn Khaldun.
Latar Belakang Pendidikan
Khaldun pertama kali menerima pendidikan langsung dari ayahnya, sejak kecil ia telah mempelajari tajwid, menghafal Al-Quran, dan fasih dalam qira’at al-sab’ah, di samping dengan ayahnya, ia juga mempelajari tafsir, hadits, fiqh (Maliki), gramatika bahasa arab, ilmu mantiq, dan filsafat dengan sejumlah ulama Andalusia dan Tunisia. pendidikan formalnya dilaluinya hanya sampai pada usia 17 tahun. dalam usia yang masih relatif muda ini ia telah mampu menguasai beberapa disiplin ilmu klasik, termasuk ‘ulum ‘aqliyah (ilmu-ilmu filsafat, tasawuf, dan metafisika). Di samping itu, Khaldun juga tertarik untuk mempelajari dan menggeluti ilmu politik, sejarah, ekonomi, geografi dan lain sebagainya. ketika usianya melewati 17 tahun ia kemudia belajar sendiri (otodidak), meneruskan apa yang telah diperolehnya pada masa pendidikan formal sebelumnya.
Karya – karyanya
Sebenarnya Ibnu Khaldun sudah memulai karirnya dalam bidang tulis menulis semenjak masa mudanya, tatkala ia masih menuntut ilmu pengetahuan, dan kemudian dilanjutkan ketika ia aktif dalam dunia politik dan pemerintahan. adapun hasil karya – karyanya yang terkenal diantaranya adalah:
Kitab Muqaddimah
Buku pertama dari kitab al-‘ibar yang terdiri dari bagian muqaddimah (pengantar). buku pengantar yang panjang inilah yang merupakan inti dari seluruh persoalan, dan buku ini juga yang mengangkat nama Ibnu Khaldun menjadi begitu harum. Adapun tema muqaddimah ini adalah gejala-gejala sosial dan sejarahnya.
Kitab Al-‘Ibar, Wa Diwan Al-Mubtada’ Wa Al-Khabar, Fi Ayyan Al-‘Arab Wa Al-‘Ajam Wa Al-‘Barbar, Wa Man Ashrumun Min Dzawi As-Sulthani Al-‘Akbar. (kitab pelajaran dan arsip sejarah zaman permulaan dan zaman akhir yang mencakup peristiwa politik mengenai orang-orang arab, non – arab, dan barbar, serta raja – raja besar yang semasa dengan mereka), yang kemudian terkenal dengan kitab ‘iba, yang terdiri dari tiga buku yaitu:
Buku pertama, kitab muqaddimah atau jilid pertama yang berisi tentang : masyarakat dan ciri-cirinya yang hakiki.
Buku kedua, terdiri dari empat jilid yaitu dari jilid kedua sampai jilid kelima, yang menguraikan tentang sejarah bangsa arab, genarasi – generasi serta dinasti – dinasti mereka.
Buku ketiga, terdiri dari dua jilid yaitu jilid keenam dan ketujua, yang berisi tentang sejarah bahasa Barbar dan Zanata yang merupakan bagian dari mereka, khususnya kerajaan dan negara-negara Maghribi (Afrika utara)
Kitab al-ta’rif bi Ibnu Khaldun wa rihlatuhu syargon wa gharban atau disebut al-ta’rif, dan oleh orang – orang barat disebut dengan autobiografi, merupakan bagian terakhir dari kitab al-‘ibar yang berisi tentang beberapa bab mengenai Ibnu Khaldun.
KONSEP PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF IBNU KHALDUN
1. Pengertian dan tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun
Di dalam kitab muqaddimahnya Ibn Khaldun tidak memberikan definisi pendidikan secara jelas, ia hanya memberikan gambaran – gambaran secara umum, seperti dikatakan Ibnu Khaldun bahwa:
“barang siapa tidak terdidik oleh orang tuanya, maka akan terididik oleh zaman”
Maksudnya barangsiapa tidak memperoleh tata krama yang dibutuhkan sehubungan dengan pergaulan bersama melalui orang tua mereka yang mencakup guru – guru dan para sesepuh, dan tidak mempelajari hal itu dari mereka, maka ia akan memepelajarinya dengan bantuan alam, dari peristiwa – peristiwa yang terjadi sepanjang zaman, zaman akan mengajarkanya.
Dari pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan menurut Khaldun mempunyai pengertian yang cukup luas. Pendidikan tidak hanya proses belajar mengajar, tetapi pendidikan adalah suatu proses, dimana manusia secara sadar menangkap, menyerap dan menghayati peristiwa – peristiwa alam sepanjang zaman.
Adapun tujuan pendidikan menurut Khaldun ada enam, yaitu:
Menyiapkan seseorang dari segi keagamaan
Menyiapkan seseorang dari segi akhlak
Menyiapkan seseorang dari segi kemasyarakatan atau sosial
Menyiapkan seseorang dari segi vokasional atau pekerjaan
Menyiapkan seseorang dari segi pemikiran
Menyiapkan seseorang dari segi kesenia
2. Pandangan tentang manusia didik
Khaldun melihat manusia tidak terlalu menekankan pada segi kepribadiannya. Menurut Khaldun, manusia bukan merupakan produk nenek moyangnya. akan tetapi produk sejarah, lingkungan sosial, lingkungan alam, adat istiadat. karena itu, lingkungan sosial merupakan pemegang tanggung jawab dan sekaligus memberikan corak prilaku seorang manusia.
Pandangan Khaldun tentang manusia sebagai suatu makhluk yang berbeda dengan berbagai makhluk lainnya karena manusia mempunyai akal (Makhluk berfikir). Lewat kemampuan berfikirnya itu manusia tidak hanya membuat kehidupannya sehingga mampu melahirkan ilmu (Pengetahuan) dan teknologi, tetapi juga menaruh perhatian terhadap berbagai cara guna memperoleh makan hidup. Proses – proses semacam ini yang melahirkan peradaban.
Pada bagian lain, Khaldun berpendapat bahwa dalam proses belajar atau menuntut ilmu pengetahuan, manusia disamping harus sungguh – sungguh juga harus memiliki bakat. Menurutnya, dalam mencapai pengetahuan yang bermacam – macam itu seseorang tidak hanya membutuhkan ketekunan, tetapi juga bakat. Berhasilnya suatu keahlian dalam suatu bidang ilmu atau disiplin memerlukan pengajaran.
3. Pandangan tentang ilmu atau materi pendidikan
Adapun pandangan mengenai materi pendidikan. Karena materi merupakan salah satu komponen operasional pendidikan, maka dalam hal ini Khaldun telah mengklasifikasikan ilmu pengetahuan yang banyak dipelajari manusia pada waktu itu menjadi dua macam, yiatu:
Ilmu Naqli (Traditional science)
Meliputi al-qur’an, hadits, ‘ulum al-qur’an, ‘ulum al-hadits, fiqh, ushul fiqh, ilmu kalam, tasawuf dan ta’bir ru’ya.
Ilmu Aqli (Rational science)
Meliputi mantiq, fisika, matematika, kedokteran, pertanian, metafisika, geometri, al-jabar, musik dan astronomi.
Diantara ilmu tersebut ada yang harus diajarkan kepada anak didik, yaitu:
Ilmu syari’ah dengan semua jenisnya
Ilmu filsafat seperti ilmu alam dan ilmu ketuhanan
Ilmu alat yang membantu ilmu agama seperti ilmu bahasa, gramatika dan sebagainya.
Ilmu alat yang membantu ilmu falsafah seperti ilmu mantiq
4. Pandangan mengenai kurikulum
Sebelum membahas pandangan Khaldun mengenai kurikulum, perlu diketahui bahwa pengertian kurikulum pada zamannya berbeda dengan pengertian kurikulum masa kini (modern). Pengertian kurikulum pada masa Khaldun masih terbatas pada maklumat – maklumat dan pengetahuan yang dikemukaan oleh guru atau sekolah dalam bentuk mata pelajaran yang terbatas atau dalam bentuk kitab – kitab tradisional yang tertentu, yang dikaji oleh murid dalam tiap tahap pendidikan. Sedangkan pengertian kurikulum modern telah mencakup konsep yang lebih luas yang di dalamnya mencakup konsep yang lebih luas, seperti tujuan pendidikan yang ingin dicapai, pengetahuan – pengetahuan, maklumat – maklumat, data kegiatan – kegiatan, pengalaman – pengalaman dari mana terbentuknya kurikulum itu, metode pengajaran serta bimbingan kepada murid, ditambah metode penilaian yang dipergunakan untuk mengukur kurikulum dan hasil proses pendidikan.
Sementara pemikiran Khaldun tentang kurikulum dapat dilihat dari epistimologinya. Menurutnya, ilmu pengetahuan dalam kebudayaan umat islam dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: ilmu pengetahuan syari’at dan ilmu pengetahuan filosofis. Ilmu pengetahuan syari’ah dan filosofis merupakan pengetahuan yang ditekuni manusia (peserta didik) dan saling berinteraksi, baik dalam proses memperoleh atau proses mengajarkannya. Konsepsi ini kemudian merupakan pilar dalam merekonstruksi kurikulum pendidikan islam yang ideal, yaitu kurikulum pendidikan yang mampu mengantarkan peserta didik yang memiliki kemampuan membentuk dan membangun peradaban umat manusia.
5. Pandangan mengenai metode pendidikan
Dalam melaksanakan tugasnya, seorang pendidik hendaknya mampu menggunakan metode mengajar yang efektif dan efisien. Dalam hal ini, Khaldun sebagaimana dikutip Scheleife mengemukakan enam prinsip utama yang perlu diperhatikan pendidik, yaitu:
Prinsip pembiasaan
Prinsip tadris (berangsur – angsur)
Prinsip pengenalan umum (generalistik)
Prinsip kontinuitas
Memperhatikan bakat dan kemampuan peserta didik
Para pendidikan hendaknya mengetahui kemampuan dan dara serap peserta didik. Kemampuan ini akan bermanfaat bagi menetapkan materi pendidik yang sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik.
Menghindari kekesaran dalam mengajar
Menurut khaldun, seseorang yang dahulunya diajarkan dengan cara kasar, keras dan cacian akan dapat mengakibatkan gangguan jiwa pada si anak, anak yang demikian cenderung menjadi pemalas dan pendusta, murung, dan tidak percaya diri serta berperangai busuk, mengemukakan sesuatu yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya yang disebabkan ia merasa takut diperlakukan keras atau kasar.
Di dalam buku muqaddimahnya, Khaldun telah mencanangkan langkah – langkah pendidikan, yaitu:
Pertama, di dalam memberikan pengetahuan kepada anak didik, pendidik hendaknya memberikan problem – probelm pokok yang bersifat umum dan menyeluruh, dengan memperhatikan kemampuan akal anak didik.
Kedua, setelah pendidik memberikan problem – problem yang umum dari pengetahuan tadi, baru pendidik membahasnya lebih detail dan terperinci.
Ketiga, pada langkah ketiga ini pendidik menyampaikan pengetahuan kepada anak didik secara lebih terperinci dan menyeluruh, dan berusaha membahas semua persoalan bagaimanapun sulitnya agar anak didik memperoleh pemahaman yang sempurna.
Selain itu Khaldun juga menyebutkan keutamaan metode diskusi, karena dengan metode ini anak didik telah terlibat dalam mendidik dirinya sendiri dan mengasah otak, melatih untuk berbicara, menghidupkan kreativitas pikir anak, dapat memecahkan masalah, pandai menghargai pendapat orang lain dan percaya diri. Atau dengan kata lain metode ini dapat membuat anak didik berfikir reflektif dan inovatif. Khaldun juga menganjurkan metode peragaan, karena dengan metode ini proses pengajaran akan lebih efektif dan materi pelajaran akan lebih cepat ditangkap anak didik. Satu hal yang menunjukkan kematangan berfikir Khaldun yaitu prinsipnya yang menyatakan bahwa belajar bukan penghafalan di luar kepala, melainkan pemahaman, pembahasan dan kemampuan berdiskusi.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dalam kajian tentang konsep pendidikan dalam perspektif Ibnu Khaldun ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian. Yaitu sebagai ilmuan dan sejarawan, Khaldun telah banyak turut mewarnai pemikiran – pemikiran tentang pendidikan. Dia telah mencanangkan dasar – dasar dan sistem pendidikan yang patut diteladani baik di masa lalu maupun masa sekaran. Dari segi metode, materi, maupun kurikulum yang ditawarkan secara keseluruhan pantas untuk dikaji dan dicermati. Dia telah menyajikan pandangan – pandangannya dalam bentuk orientasi umum, sehigga dia mengatakan bahwa aktifitas pendidikan bukan semata – mata bersifat pemikiran dan perenungan, akan tetapi ia merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas insani, dan karenanya ia harus dinikmati oleh setiap makhluk sosial yang bernama manusia. Karena orientasi pendidikan menurut Khaldun adalah bagaimana bisa hidup bermasyarakat. Adapun metode yang ditawarkan Khaldun bersifat intelektualitas, dengan prinsip memberikan kemudahan – kemudahan bagi anak didik guna tercipta tujuan pendidikan yang hendak dicapai.
SARAN
Orang bijak mengatakan bahwa ” tak ada gading yang tak retak”. Tidak ada sesuatu di jagad raya ini yang sempurna. Kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT semata. Begitu pula dengan penyajian makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Penulis mengharapkan masukan – masukan yang berupa kritik dan saran konstruktif guna pembuatan makalah selanjutnya, sehingga penulis dapat membenahi sedikit demi sedikit kesalahan dan kekurangan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1991
Nata Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997
Nizar Samsul, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta, Ciputat pers, 2002
________ , Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, jakarta, Gaya Media Pratama, 2001
http://uinsuka.info/ejurnal/index.php?option=comcontent&task=view&id=100&itimed=52
http://zaldym.wordpress.com /2008/10/23/ibnu-khaldun-bapak- sosiologi-islam
http://www.republika.co.id/berita/34525/ibnu-khaldun-peletak-dasar-sosiologi-islam
http://www.republika.co.id/berita/34525/ibnu-khaldun-peletak-dasar-sosiologi-islam
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm., 171
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis (Jakarta, Ciputat pers, 2002), hlm., 91
http://zaldym.wordpress.com /2008/10/23/ibnu-khaldun-bapak- sosiologi-islam
http://uin-suka.info/ejurnal/index.php?option=com-content&task=view&id=100&itimed=52
Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Hlm., 93
Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta, Bumi Aksara, 1991), hlm., 155
Nata, Filsafat Pendidikan, hlm., 175
Samsul Nizar, Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam (jakarta, Gaya Media Pratama, 2001), hlm., 22
Nata, Filsafat Pendidikan, hlm., 176
http://uin-suka.info/ejurnal/index.php?option=com-content&task=view&id=100&itimed=52
Nizar, Filsafat Pendidikan,hlm., 95
Ibid.hlm., 96
Ibid.hlm., 95
Ibid.hlm., 94
Nata, Filsafat Pendidikan.hlm., 177
http://uin-suka.info/ejurnal/index.php?option=com-content&task=view&id=100&itimed=52
Ibid.

MEDIA MASSA DAN PERUBAHAN SIKAP INDIVIDU

MEDIA MASSA DAN PERUBAHAN
SIKAP INDIVIDU
JURNAL
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Bimbingan dan Konseling yang Dibina Oleh Bapak Farid Firmansyah
SEKOLAH TINGGI AGAM ISLAM NEGERI PAMEKASAN
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
MEI 2009


ABSTRAK
Globalisasi yang dipicu oleh kemajuan teknologi komunikasi telah menyentuh hampir semua bidang kehidupan manusia. Media komunikasi visual dan auditif sudah demikian majunya sehingga arus informasi menjadikan dunia seakan begitu dekat dan sempit. Arus informasi dari satu tempat ke tempat yang lainpun sudah tak tercegah. Bersamaan dengan itu media komunikasi semakin dominan menentukan corak dan warna manusia baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial.
Hampir tak seorang pun yang terkena dampak teknologi komunikasi. Gaya hidup, selera, nilai-nilai, norma dan banyak aspek kepribadian manusia ikut dibentuk oleh TV, Radio, Majalah, dan pesan-pesan yang disampaikan lewat berbagai sarana. Setiap hari kita dijejali iklan komersil, setiap hari disuapi orasi politik, dan setiap hari pula kita kenyak dengan pesan ideologi. Pada satu sisi, sikap manusia terbentuk dan berubah oleh dampak modernisasi komunikasi dan pada gilirannya sikap itu sendiri berpengaruh terhadap aspek kehidupan sosial.
KATA KUNCI
Media Massa, Sikap
Pendahuluan
Media merupakan alat atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan dan komunikasi kepada khalayak. Media massa sebagai salah satu pilar Masyarakat modern, semakin memiliki peran dalam penanaman nilai-nilai terhadap masyarakat. Fakta empiris menunjukkan objektivitas media massa merupakan hal yang nisbi, malah fakta berbicara bahwa setiap media massa, baik cetak maupun elektronik, mempunya visi dan misi tersendiri yang mempengaruhi pemberitaan di media massa tersebut. Visi dan misi setiap media massa, yang tentu dibuat oleh pemilik media massa tersebut, acapkali terpengaruh oleh salah satu ideologi tertentu. Media massa kemudian dijadikan corong untuk menanamkan ideologi tersebut di masyarakat melalui pemberian atau wacana yang dikembangkan dari sudut pandang ideologi tersebut.
Kecanggihan teknologi dan perkembangan media komunikasi secara tidak sadar telah mengubah tatanan sosial kemasyarakatan yang bersinggungan langsung terhadap sikap individu. Kecenderungan tersebut salah satunya bisa jadi akibat dari media massa dan segala yang ditampilkannya.
Definisi Media Massa
Media massa adalah suatu jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen dan anonim melewati media cetak atau elektronik, sehingga pesan informasi yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat. Pengertian “dapat” di sini menekankan pada pengertian bahwa jumlah sebenarnya penerima pesan informasi melalui media massa pada saat tertentu tidaklah esensial. Yang penting ialah “the communcator is a social organization capable of reproducing the message and sending it simultaneously to large number of people who are spatially separated.”
Adapun bentuk bedia massa, secara garis besar ada dua jenis, yaitu:
• Media Massa
Surat kabar dan majalah, termasuk buku-buku
• Media elektronik
Televisi dan radio, termasuk Internet
Pengaruh Media Massa
Secara perlahan-lahan Namur efektif, media membetuk pandangan individu terhadap bagaimana seorang individu melihat pribadinya dan bagaimana seorang individu seharusnya berhubungan dengan dunia sehari-hari.
• Pertama, media massa memperlihatkan bagaimana standar hidup layak bagi seorang manusia, dari sini individu menilai apakah individu tersebut telah memenuhi estándar itu dan gambaran ini banyak dipengaruhi dari apa yang dilihat dari media massa.
• Kedua, penawaran-penawaran yang dilakukan di media massa bisa jadi mempengaruhi keinginan individu. Sebagai contoh media massa mengilustrasikan kehidupan keluarga ideal, dan pemirsanya mulai membandingkan dan membicarakan kehidupan keluarga tersebut.
• Ketiga, media visual dapat memenuhi kebutuhan individu akan kepribadian yang lebih baik, pintar, cantik/tampan, dan kuat. Contohnya bagi individu yang ABG akan meniru gaya bicara idola mereka, meniru cara mereka berpakaian maupun mengidentifikasikan mereka sebagai idola mereka.
• Keempat, bagi remaja, mereka tidak hanya berhenti sebagai penonton atau pendengar, mereka juga menjadi “penentu”, dimana mereka menentukan arah media populer saat mereka berekspresi dan mengemukakan pendapatnya.
Secara garis besar media massa mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam pembentukan kognisi seseorang. Media massa memberikan informasi dan pengetahuan yang pada akhirnya dapat membentuk persepsi. Dan penelitian menunjukkan bahwa persepsi mempengaruhi sikap (attitude) dan perilaku seseorang.
Kognisi adalah semua prosesi yang terjadi di fikiran kita, yaitu: melihat, mengamati, mengingat, mempersepsikan sesuatu, membayangkan sesuatu, berfikir, menduga, menilai, mempertimbangkan dan memperkirakan. Berbagai pemberitaan media massa memberikan masukan kepada kognisi individu, dan kognisi akan membentuk sikap.
Konsep Sikap Individu
Sikap merupakan kajian yang sangat krusial karena sikap berperan sangat penting dalam setiap aspek dalam kehidupan sosial.
• Pertama, sikap pada dasarnya mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam hubungan kita dengan orang lain. Sebagai contoh sikap yang positif terhadap seseorang membuat kita senang bertemu dengan orang itu, bahkan melakukan sesuatu untuk dia, mengimitasi perilakunya, dan sebagainya. Sementara sikap yang negatif sebaliknya.
• Kedua, sikap mempengaruhi banyak keputusan-keputusan penting kita. Pilihan kita pada masa pemilihan presiden, gaya hidup, jurusan kuliah, semua dipengaruhi sikap terhadap orang dan objek-objek tersebut.
• Ketiga, sikap menentukan posisi kita ketika kita dihadapkan dengan isu-isu sosial yang krusial.
Ellis mengemukakan tentang sikap sebagai berikut : “Attitude involve some knowledge of situation. However, the essential aspect of the attitude is found in the fact that some characteristic feeling or emotion is experienced. And as we would accordingly expect, some definite tendency to action is associated.” Jadi menurtu Ellis, yang sangat memegang peranan penting di dalam sikap ialah faktor perasaan atau emosi, dan faktor kedua adalah reaksi atau respon, atau kecenderungan untuk bereaksi. Dalam beberapa hal, sikap merupakan penentu yang penting dalam tingkah laku manusia. Sebagai reaksi maka sikap selalu berhubungan dengan dua alternatif, yaitu senang (like) atau tidak senang (dislike), menurut dan melaksanakannya atau menjauhi atau menghindari sesuatu.
Ada tiga komponen sikap, yaitu:
• Afektif (affective), yang di dalamnya termasuk perasaan suka tidak suka terhadap suatu objek atau orang
• Kognitif, termasuk keyakinan tentang objek atau orang tersebut
• Perilaku, yaitu kecenderungan untuk bereaksi tertentu terhadap objek atau orang tersebut.
Pembentukan Sikap : Faktor dan Proses
Pemahaman mengenai mekanisme perubahan dan pengubahan sikap sangat diperlukan karena sebagai manusia kadang-kadang kita berperan sebagai agen perubahan dan kadang-kadang kita berperan sebagai subjek perubahan. Suatu waktu mungkin kita menginginkan orang lain agar mengubah sikap dan lain waktu mungkin kita perlu mempertahankan sikap dari usaha-usaha yang hendak mengubahnya.
Banyak faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap individu, baik yang bersumber dari dalam dirinya (faktor internal) ataupun yang berasal dari luar dirinya (faktor eksternal). Faktor internal merupakan segala sikap dan kecakapan yang dimiliki atau dikuasi individu dalam perkembangannya, diperoleh dari hasil keturunan atau karena interaksi keturunan dengan lingkungan. Faktor eksternal merupakan segal hal yang diterima individu dari lingkungannya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap individu yaitu : pengalaman pribadi; pengaruh orang lain yang dianggap penting; pengaruh kebudayaan; media massa; pengaruh emosional; dan lembaga pendidikan dan agama.
Menurut Baron (1979), ada tiga proses yang sangat sederhana tetapi mempunyai efek yang sangat kuat terhadap pembentukan sikap. Yaitu:
• Classical Conditioning yaitu proses dimana beberapa stimulus yang bersifat netral, yaitu tidak mempunyai efek untuk memicu respon positif ataupun negatif, secara bertahap mempunyai efek itu (memicu respon positif ataupun negatif), setelah dilakukan pemasangan/asosiai dengan stimulus lain yang memang pada dasarnya mempunyai efek memicu respon.
• Instrumental Conditioning merupakan pembentukan sikap yang cukup efektif karena menetapkan sistem reward dan punishment. Individu akan menerima reward apabila menerapkan sikap yang diinginkan dan mendapatkan punishment bila menerapkan sikap yang tidak diinginkan. Sikap bisa bertahan lama dan melekat pada individu apabila pemberian reward menggunakan variable-ratio schedule, yaitu jumlah respon yang diinginkan akan berbeda untuk mendapatkan reward.
• Obsevational Learning (also known as : vacatious learning or sacral learning or modeling or monkey see, monkey do ) is learning that occurs as a function of observing, retaining and in the case of imitation learning, replicating novel behavior executed by others. It is most associated with the work psychologist Albert Bandura, who implemented some of the seminar studies in the area and intimated social learning theory. It involves the process of learning to copy or model the action of another through observing another doing it. Further research has been used to show a connection between observation learning and both classical and operant conditioning.
Jadi Albert Bandura, observatronal learning melibatkan proses pembelajaran meniru atau memperagakan tindakan individu melalui penelitian atau pengamatan yang dilakukan individu terhadap individu lainnya. Sedangkan penelitian yang dilakukan Albert Bandura digunakan untuk menunjukkan adanya hubungan antara observatronal learning dan juga classical dan operant conditioning.
Penutup
Kemajuan teknologi komunikasi yang ditandai dengan berkembangnya media massa sudah tidak dapat kita pungkiri lagi. Kehadirannya seumpama mata air di tengah gurun pasir yang fatamorgana. Secara perlahan tapi pasti dia dapat menipu mata telanjang kia, karena di dalamnya ada sedikit nilai-nilai yang tidak patut kita contoh namun realitanya kita membutuhkannya. Sebagai individu kita tidak hanya memanfaatkannya sebagai kebutuhan kita, lebih jauh lagi kita dapat memfilter pengaruh media massa yang bisa berdampak buruk bagi kepribadian kita. Selain itu perkembangan media massa sebagai kamajuan teknologi komunikasi dapat membentuk peradaban.
Media massa secara signifikan dapat mengubah dan mempengaruhi pembentukan sikap individu. Unsur-unsur dalam media massa secara sadar maupun tidak telah mengubah tatanan kehidupan sosial bermasyarakat maupun individu. Kecenderungan tersebut bisa mengarahkan kepada berubahan sikap individu yang baik atau tidak, tergantung bagaimana individu tersebut menyikapinya.
Saifuddin Anwar, Sikap Manusia : Teori dan Pengukurannya (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1998)., hlm., 60
Ibid.,
http://purwoko.staff.ugm.ac.id./web/?p=ll
http://jurnal-pemikiranislam.blogspot.com/2009/02/kapitalisasi-media-massa.html
http://re-searchengines.com/mangkoes6-04-2.html
http://id.wikipedia.org/wiki/mediamassa
http://lukmanulhakim.multiply.com/journal/item/ii
Ibid.,
Ibdi.,
Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1998), hlm., 141
http://lukmanulhakim.multiply.com/journal/item/ii
Anwar, Sikap Manusia,hlm., 60
Nana Syaodih Sukamadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), hlm., 44
http://digilib.petra.ac.id/viewer-php?page=5&qual=high&submitual=next&fname=%2fjiunkpe52fikom%2f2008%2fjiunkpe-ns-s1-2008-s1403097-9175-majapahit-chapter%pdf&submit.x=15&submit.y=15
http://lukmanulhakim.multiply.com/journal/item/ii
Ibid.,
http://omongkosongsibebek.wordpress.com/2007/10/16/menghilangkan-perilaku-diskriminasi-dengan-menggunakan-instrumental-conditional/
http://en.wikipedia.org/wiki/observational learning



KONSEP PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH


KONSEP PENDIDIKAN
DALAM PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam
Yang Dibina Oleh Bapak SISWANTO, M.PdI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
PAMEKASAN
2009

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang semata-mata karena limpahan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menjalankan aktivitas dan rutinitas sehari-hari dengan penuh kesabaran. Dan dengan limpahan rahmat-Nya pula kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini.
Makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam yang membahas tentang Konsep Pendidikan Dalam Perspektif Muhammad Abduh. Kami ucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Siswanto, M.PdI. selaku dosen pembimbing mata kuliah tersebut.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka kritik dan saran kami terima dengan senang hati, demi kesempurnaan makalah ini. Pepatah mengatakan “Tiada Gading Yang Tak Retak”.
Akhirnya prakata dari kami (penyusun) :
“Mari kita adobsi hasil-hasil pemikiran modern, tapi ingat kita selalu dituntut oleh perkembangan zaman yang mengharuskan kita untuk berfikir lebih maju”.
Pamekasan, 12 April 2009
Penyusun
MOHAMMAD LUKMAN


BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Muhammad abduh adalah tokoh muslim yang sangat da kenal oleh pelajar /mahasiswa islam. Beliau di kenal dengan sosok seorang pemikir yang professional terutama dalam dunia pendidikan.
Konsep pendidikan Muhammad Abduh ialah konsep pendidikan yang lebih di latar belakangi faktor situasi sosial ke agamaan dan situasi pendidikan islam yang sedang mengalami kemunduran baik di bidang ilmu pengetahuan dan bidang ke agamaan.
Konsep pendidikan sampai dewasa ini nampaknya belum menghasilkan suatu perumusan yang mantap. Hal ini benar, dan kenyataan tersebut disebabkan bukan saja oleh kompleksnya masalah pendidikan, melainkan juga karena dunia pendidikan juga dituntut terus untuk memberikan jawaban baru yang relevan terhadap perubahan sosial yang bergerak begitu cepat. Untuk lebih memahami tentang konsep pendidikan Muhammad Abduh di bawah ini akan di urai dalam pembahasan tersebut.
_______________________________________________________
BAB II
PEMBAHASAN
Pembahasan konsep pendidikan sampai dewasa ini nampaknya belum menghasilkan suatu perumusan yang mantap. Hal ini benar, dan kenyataan tersebut disebabkan bukan saja oleh kompleksnya masalah pendidikan, melainkan juga karena dunia pendidikan juga dituntut terus untuk memberikan jawaban baru yang relevan terhadap perubahan sosial yang bergerak begitu cepat.
Sementara apresiasi pemikiran Islam, setidak-tidaknya sampai saat ini ternyata masih banyak ditandai oleh dikotomi pemikiran antara warna Barat dan Timur Tengah. Kondisi ini, kemudian menjadi potensi pemicu ‘perseteruan’ yang hebat di kalangan pemikir Islam. Hal semacam itu sesungguhnya menjadi sah-sah saja, bila itu dijadikan sebagai wahana dinamisasi pemikiran Islam. Tetapi menjadi terlalu naif bila ternyata yang nampak adalah proses pengkafiran satu sama lain.
Perseteruan semacam ini sangatlah merugikan, sebab sikap tersebut mempertentangkan secara dikotomik terhadap tradisi dan modernisasi. Semata-mata mengandalkan pada adekuasi tradisi, akan menjadikan umat Islam terperangkap pada sikap tradisionalisme, yang akan mengisolasi umat Islam dari proses dinamika zaman. Lebih dari itu, sikap yang demikian akan menjadikan Islam kehilangan elan vitalnya dalam berdialektika dengan perkembangan eksternal. Sebaliknya, sikap berlebihan dalam menerima modernisasi akan mengakibatkan umat Islam tercerabut dari akar tradisinya.
Misalnya, membagi pengetahuan ke dalam pengetahuan yang filosofis-intelektual dan pengetahuan yang diturunkan. Walaupun pembagian ini tidak lantas harus dipahami sebagai fragmentasi atau keterpecahan pengetahuan, akan tetapi dalam kenyataannya, pembagian tersebut telah menciptakan polarisasi pemikiran ke dalam dua arus pemikiran besar (mainstream) yang saling kontradiktif, yakni agamis dan sekular.
Dalam perkembangannya, pendidikan Islam telah melahirkan dua pola pemikiran yang kontradiktif. Keduanya mengambil bentuk yang berbeda, baik pada aspek materi, sistem pendekatan, atau dalam bentuk kelembagaan sekalipun, sebagai akumulasi dari respon sejarah pemikiran manusia dari masa ke masa terhadap adanya kebutuhan akan pendidikan. Dua model bentuk yang dimaksud adalah pendidikan Islam yang bercorak tradisionalis dan pendidikan Islam yang bercorak modernis. Pendidikan Islam yang bercorak tradisionalis dalam perkembangannya lebih menekankan pada aspek doktriner normatif yang cenderung eksklusif-literalis, apologetis. Sementara pendidikan Islam modernis, lama-kelamaan ditengarai mulai kehilangan ruh-ruh mendasarnya.
Tentu saja semua faktor kelemahan tradisi ilmiah di kalangan Muslim tidak tampil secara merata pada semua periode pemikiran dan kelompok ilmuwan. Namun, pada umumnya bebannya masih sangat terasa dewasa ini. Jika ini terjadi, secara teoretis, pendidikan Islam tidak akan pernah mampu memberikan jawaban terhadap tuntutan liberasi, dan humanisasi.
Berangkat dari persoalan tersebut di atas, M. Abduh mengkaji lebih jauh pemikiran tentang pendidikan Islam yang mewakili kelompok modernis-rasionalis. Atau dengan kata lain, kajian tentang pemikiran pendidikan Islam M. Abduh berada pada wilayah historisitas-empiris yang responsif terhadap adanya perubahan. Dengan demikian, rekonseptualisasi atau bahkan dekonstruksi harus dilakukan terhadap warisan pendidikan Islam yang ada. Di samping juga melakukan upaya-upaya pembaharuan dengan tujuan optimalisasi fungsi pendidikan Islam dalam menghadapi berbagai perubahan dan tantangan mendepan.
konsep pendidikan Muhammad Abduh, yaitu munculnya konsep pendidikan lebih dilatarbelakangi faktor situasi sosial keagamaan dan situasi pendidikan Islam yang sedang mengalami kemunduran, baik di bidang ilmu pengetahuan dan di bidang keagamaan.
Di samping itu perlunya mempelajari ilmu-ilmu agama di samping ilmu-ilmu yang datang dari Barat dalam lembaga pendidikan formal. Adapun yang lain adalah menekankan tumbuhnya pribadi yang ideal, yang memiliki ilmu pengetahuan yang seimbang antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu yang bersifat umum (datang dari Barat).
_____________________________________________________
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Konsep pendidikan Muhammad Abduh ditelaah dari faktor-faktor pendidikan menunjukkan adanya relevansinya dengan Sistem Pendidikan Nasional yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, terutama pada tujuan pendidikan Nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa serta membentuk peserta didik yang memiliki iman dan takwa serta masih ada yang relevan pada bab yang lain yang dijabarkan pada pasal-pasal di dalam undang-undang tersebut.
Berangkat dari persoalan tersebut di atas, M. Abduh mengkaji lebih jauh pemikiran tentang pendidikan Islam yang mewakili kelompok modernis-rasionalis. Atau dengan kata lain, kajian tentang pemikiran pendidikan Islam M. Abduh berada pada wilayah historisitas-empiris yang responsif terhadap adanya perubahan. Dengan demikian, rekonseptualisasi atau bahkan dekonstruksi harus dilakukan terhadap warisan pendidikan Islam yang ada. Di samping juga melakukan upaya-upaya pembaharuan dengan tujuan optimalisasi fungsi pendidikan Islam dalam menghadapi berbagai perubahan dan tantangan mendepan.
_____________________________________________________________
DAFTAR PUSTAKA
Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Jakarta : Rahagrafondo Persada, 2001).
http://digilib.umg.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jipptumg--azirotussa-39
http://www.msi_uii.net/baca.asp?katagori=rubrik&menu=TPI&baca=artikel&id=73


ISLAM DAN BUDAYA MADURA


ISLAM DAN BUDAYA MADURA



Abstrak:
Masyarakat Madura dikenal memiliki budaya yang khas, unik, stereo-tipikal, dan stigmatik. Identitas budayanya itu dianggap sebagai deskripsi dari generalisasi jatidiri individual maupun komunal etnik Madura dalam berperilaku dan berkehidupan. Kehidupan mereka di tempat asal maupun di perantauan kerapkali membawa ─ dan senantiasa dipahami oleh komu-nitas etnik lain atas dasar ─ identitas kolektifnya itu. Akibatnya, tidak jarang di antara mereka mendapat perlakuan sosial maupun kultural ─ se-cara fisik dan/atau psikis ─ yang dirasakan tidak adil, bahkan tidak pro-porsional dan di luar kewajaran.
Berbagai deskripsi perilaku absurd orang-orang Madura terbiasa di-ungkap dan ditampilkan ─ misalnya, dalam forum-forum pertemuan ko-munitas intelektual (well-educated) ─ sehingga kian mengukuhkan gener-alisasi identitas mereka dalam nuansa tersubordinasi, terhegemonik, dan teralienasi dari “pentas budaya” berbagai etnik lainnya sebagai elemen pembentuk budaya nasional. Kendati pun setiap etnik mempunyai ciri khas sebagai identitas komunalnya, namun identitas Madura dipandang lebih “marketable” daripada etnik lainnya untuk diungkap dan diperbin-cangkan, terutama untuk tujuan mencairkan suasana beku atau kondisi tegang pada suatu forum pertemuan karena dipandang relatif mampu dalam menghadirkan lelucon-segar (absurditas perilaku).
Dalam konteks religiusitas, masyarakat Madura dikenal memegang kuat (memedomani) ajaran Islam dalam pola kehidupannya kendati pun menyisakan “dilema,” untuk menyebut adanya deviasi/kontradiksi antara ajaran Islam (formal dan substantif) dan pola perilaku sosiokultural dalam praksis keberagamaan mereka itu. Pengakuan bahwa Islam sebagai ajaran formal yang diyakini dan dipedomani dalam kehidupan individual etnik Madura itu ternyata tidak selalu menampakkan linieritas pada sikap, pendirian, dan pola perilaku mereka. Dilema praksis keberagamaan mereka itu, kiranya menjadi tema kajian menarik terutama untuk mema-hami secara utuh, mendalam, dan komprehensif tentang etnografi Madura di satu sisi, dan keberhasilan penetrasi ajaran Islam pada komunitas etnik Madura yang oleh sebagian besar orang/etnik lain masih dipandang (di-yakini?) telah mengalami internalisasi sosiokultural, di sisi lain. Pemaha-man demikian diharapkan dapat memberi kontribusi yang bermakna teru-tama bagi kejernihan dan kecerahan pola pandang elemen warga-bangsa.

Kata kunci: Islam, Madura, etnografi, perilaku.
Pendahuluan
R
eligiusitas masyarakat etnik Madura telah dikenal luas sebagai bagian dari keberagamaan kaum muslimin Indonesia yang berpegang teguh pada tradisi (ajaran?) Islam dalam menepak realitas kehidupan sosial budayanya. Kendati pun begitu, kekentalan dan kelekatan keberislaman mereka tidak selalu mencer-minkan nilai-nilai normatif ajaran agamanya. Kondisi itu dapat dipahami karena penetrasi ajaran Islam ─ yang dipandang relatif berhasil ─ ke dalam komunitas etnik Madura dalam realitasnya berinteraksi (tepatnya, to be interplay) dengan kompleksitas elemen-elemen sosiokultural yang melingkupinya, terutama varia-bel keberdayaan ekonomik, orientasi pendidikan, dan perilaku politik. Hasil penetrasi Islam ke dalamnya kemudian menampakkan karakteristik tertentu yang khas dan ─ sekaligus juga ─ unik.
Oleh karena itu, pemahaman dan penafsiran atas ajaran Islam normatif pada warga etnik Madura pada perkembangannya berjalan seiring dengan kon-tekstualitas konkret budayanya yang ternyata sangat dipengaruhi ─ jika tidak di-katakan bermuatan heretical ─ oleh lingkup lokalitas dan serial waktu yang mem-bentuknya (Rahman, 1994: 141). Dalam perwujudannya, keberagamaan etnisitas komunal itu ternyata menampakkan diri dalam bentuk local tradition di mana Is-lam sebagai great tradition (ajaran dan praksis normatif) membentuk konsepsi ten-tang realitas yang mengakomodasi kenyataan sosiokultural masyarakatnya atau komunitas yang dibentuknya itu (Azra, 1999: 12). Kehadiran dan keberadaan Is-lam ke dalam suatu entitas sosial budaya telah menjadi “gerakan aktual-kultural” yang mengakomodasi dialog dalam/dengan beragam segmentasi kehidupan se-hingga wajah Islam normatif dimungkinkan mengalami perubahan walaupun pada sisi periferalnya.
Kenyataan demikian tampak pada konsepsi yang teraktualisasikan dalam bentuk-bentuk perilaku pada budaya orang-orang Madura yang ternyata men-galami perubahan format ─ jika tidak disebut bias atau deviasi ─ dari norma asal-nya. Perilaku demikian dapat diungkapkan, antara lain: sebagian pedagang Madura berjualan tidak sesuai dengan spesifikasi yang diucapkan (dijanjikan), tindakan premanisme, penghormatan berlebihan atau kultus individual pada figur kiai, ketersinggungan yang sering berujung atau dipahami sebagai penistaan harga diri, perbuatan heretikal, temperamental, reaktif, keras kepala, dan penyele-saian konflik melalui tindak kekerasan fisik (biasa disebut carok).
Contoh-contoh tersebut tidak saja menggambarkan bahwa keberagamaan sebagian masyarakat Madura “berseberangan” dengan ajaran normatif, moral, dan perenial Islam, melainkan berdampak juga pada munculnya stigma dan stereotipikal etnik secara komunal dan kultural dalam realitas praksis yang ber-jangkauan luas. Menghadapi kenyataan demikian, kearifan pandangan budaya benar-benar perlu dihadirkan sebagai bagian dari upaya solutif atas beragam problema tersebut. Hal itu didasari karena bias-bias perilaku mereka terwujud se-bagai deviasi produk akomodatif Islam dan kenyataan sosial budaya dalam prak-sis dan kontekstualitas kehidupannya.
Dalam kerangka itulah artikel ini disusun dengan maksud untuk mengu-pas tentang budaya masyarakat Madura pada sisi praksis religiusitasnya. Kajian ini diupayakan berorientasi pada pola pandang yang relatif utuh dan holistik dengan menghindari penilaian maupun justifikasi simplistik atau dikotomik yang kemudian hanya akan menghasilkan pandangan “hitam-putih” atau otentisitas-heretikal yang sulit memberi pemahaman dan penjelasan tentang kompleksitas seting dan konteks pada realitas kehidupan etnisitas mereka. Artikel ringkas ini diharapkan mampu menghadirkan solusi yang bermanfaat dan bermakna melalui kejernihan dan sekaligus kecerahan persepsi dan pandangan.

Kekhasan Budaya
Masyarakat Madura dikenal memiliki budaya yang khas, unik, stereotipi-kal, dan stigmatik. Penggunaan istilah khas menunjuk pada pengertian bahwa en-titas etnik Madura memiliki kekhususan-kultural yang tidak serupa dengan et-nografi komunitas etnik lain (Hasan Alwi, 2001: 563). Kekhususan kultural itu tampak antara lain pada ketaatan, ketundukan, dan kepasrahan mereka secara hierarkis kepada empat figur utama dalam berkehidupan, lebih-lebih dalam prak-sis keberagamaan. Keempat figur itu adalah Buppa,’ Babbu, Guru, ban Rato (Ayah, Ibu, Guru, dan Pemimpin pemerintahan). Kepada figur-figur utama itulah kepatuhan hierarkis orang-orang Madura menampakkan wujudnya dalam ke-hidupan sosial budaya mereka (Wiyata, 2003: 1).
Bagi entitas etnik Madura, kepatuhan hierarkis tersebut menjadi kenis-cayaan untuk diaktualisasikan dalam praksis keseharian sebagai “aturan nor-matif” yang mengikat. Oleh karenanya, pengabaian atau pelanggaran yang dila-kukan secara disengaja atas aturan itu menyebabkan pelakunya dikenakan sanksi sosial maupun kultural. Pemaknaan etnografis demikian berwujud lebih lanjut pada ketiadaan kesempatan dan ruang yang cukup untuk mengenyampingkan aturan normatif itu. Dalam makna yang lebih luas dapat dinyatakan bahwa aktu-alisasi kepatuhan itu dilakukan sepanjang hidupnya. Tidak ada kosa kata yang tepat untuk menyebut istilah lainnya kecuali ketundukan, ketaatan, dan kepasra-han kepada keempat figur tersebut.
Kepatuhan atau ketaatan kepada Ayah dan Ibu (buppa’ ban Babbu’) sebagai orangtua kandung atau nasabiyah sudah jelas, tegas, dan diakui keniscayaannya. Secara kulturak ketaatan dan ketundukan seseorang kepada kedua orangtuanya adalah mutlak. Jika tidak, ucapan atau sebutan kedurhakanlah ditimpakan kepadanya oleh lingkungan sosiokultural masyarakatnya. Bahkan, dalam konteks budaya mana pun kepatuhan anak kepada kedua orangtuanya menjadi kemestian secara mitlak, tidak dapat dinegosiasikan, maupun diganggu gugat. Yang mung-kin berbeda, hanyalah cara dan bentuk dalam memanifestasikannya. Kepatuhan mutlak itu tidak terkendala oleh apa pun, sebagai kelaziman yang ditopang oleh faktor genealogis. Konsekuensi lanjutannya relatif dapat dipastikan bahwa jika pada saat ini seseorang (anak) patuh kepada orangtuanya maka pada saatnya nanti dia ketika menjadi orangtua akan ditaati pula oleh anak-anaknya. Itulah salah satu bentuk pewarisan nilai-nilai kultural yang terdiseminasi. Siklus secara kontinu dan sinambung itu kiranya akan berulang dan berkelanjutan dalam kondisi normal, wajar, dan alamiah, kecuali kalau pewarisan nilai-nilai kepatuhan itu mengalami keterputusan yang disebabkan oleh berbagai kondisi, faktor, atau peristiwa luarbiasa.
Kepatuhan orang-orang Madura kepada figur guru berposisi pada level-hierarkis selanjutnya. Penggunaan dan penyebutan istilah guru menunjuk dan menekankan pada pengertian Kiai-pengasuh pondok pesantren atau sekurang-kurangnya Ustadz pada “sekolah-sekolah” keagamaan. Peran dan fungsi guru le-bih ditekankan pada konteks moralitas yang dipertalikan dengan kehidupan eska-tologis ─ terutama dalam aspek ketenteraman dan penyelamatan diri dari beban atau derita di alam kehidupan akhirat (morality and sacred world). Oleh karena itu, ketaatanorang-orang Madura kepada figur guru menjadi penanda khas budaya mereka yang ─ mungkin ─ tidak perlu diragukan lagi keabsahannya.
Siklus-generatif tentang kepatuhan orang Madura (sebagai murid) kepada figur guru ternyata tidak dengan sendirinya dapat terwujud sebagaimana ketaatan anak kepada figur I dan II, ayah dan ibunya. Kondisi itu terjadi karena tidak semua orang Madura mempunyai kesempatan untuk menjadi figur guru. Kendati pun terdapat anggapan-prediktif bahwa figur guru sangat mungkin diraih oleh murid karena aspek genealogis namun dalam realitasnya tidak dapat dipastikan bahwa setiap murid akan menjadi guru, mengikuti jejak orangtuanya. Oleh karenanya, makna kultural yang dapat ditangkap adalah bahwa bagi orang Madura belum cukup tersedia ruang dan kesempatan yang leluasa untuk men-gubah statusnya menjadi orang yang senantiasa harus berperilaku patuh, tunduk, dan pasrah.
Kepatuhan orang Madura kepada figur Rato (pemimpin pemerintahan) menempati posisi hierarkis keempat. Figur Rato dicapai oleh seseorang ─ dari mana pun etnik asalnya ─ bukan karena faktor genealogis melainkan karena ke-berhasilan prestasi dalam meraih status. Dalam realitasnya, tidak semua orang Madura diperkirakan mampu atau berkesempatan untuk mencapai posisi sebagai Rato, kecuali 3 atau 4 orang (sebagai Bupati di Madura) dalam 5 hingga 10 tahun sekali. Itu pun baru terlaksana ketika diterbitkan kebijakan nasional berupa Un-dang-Undang tentang Otonomi Daerah, tahun 1999 yang baru lalu.
Oleh karena itu, kesempatan untuk menempati figur Rato pun dalam reali-tas praksisnya merupakan kondisi langka yang relatif sulit diraih oleh orang Madura. Dalam konteks itulah dapat dinyatakan bahwa sepanjang hidup orang-orang Madura masih tetap dalam posisi yang senantiasa harus patuh. Begitulah posisi subordinatif-hegemonik yang menimpa para individu dalam entitas etnik Madura.
Deskripsi tentang kepatuhan orang-orang Madura kepada empat figur utama tersebut sesungguhnya dapat dirunut standar referensinya pada sisi re-ligiusitas budayanya. Sebagai pulau yang berpenghuni mayoritas (+ 97-99%) mus-lim, Madura menampakkan ciri khas keberislamannya, khususnya dalam aktu-alisasi ketaatan kepada ajaran normatif agamanya (Wiyata, 2002: 42). Kepatuhan kepada kedua orangtua merupakan tuntunan Rasulullah SAW walaupun urutan hierarkisnya mendahulukan Ibu (babbu’) kemudia Ayah (Buppa’). Rasulullah men-yebut ketaatan anak kepada Ibunya berlipat 3 daripada Ayahnya. Selain itu juga dinyatakan bahwa keridhaan orangtua “menjadi dasar” keridhaan Tuhan. Oleh karena secara normatif-religius derajat Ibu 3 kali lebih tinggi daripada Ayah maka seharusnya produk ketaatan orang Madura kepada ajaran normatif Islam mela-hirkan budaya yang memosisikan Ibu pada hierarki tertinggi. Dalam ken-yataannya, tidak demikian. Kendati pun begitu, secara kultural dapat dimengerti mengapa hierarki Ayah diposisikan lebih tinggi dari Ibu. Posisi Ayah dalam sosi-okultural masyarakat etnik Madura memegang kendali dan wewenang penuh lembaga keluarga sebagai sosok yang diberi amanah untuk bertanggung jawab dalam semua kebutuhan rumah tangganya, di antaranya: pemenuhan keperluan ekonomik, pendidikan,kesehatan, dan keamanan seluruh anggota keluarga, ter-masuh di dalamnya Sang Ibu sebagai anggota dalam “kepemimpinan” lelaki.
Di sisi lain, kepatuhan kultural orang Madura kepada Guru (Kiai/Ustadz) maupun kepada pemimpin pemerintahan karena peran dan jasa mereka itu dipan dang bermanfaat dan bermakna bagi survivalitas entitas etnik Madura. Guru ber-jasa dalam mencerahkan pola pikir dan perilaku komunal murid untuk mem-peroleh kesejahteraan hidup di dunia dan keselamatan mendiami negeri akhirat kelak. Kontribusi mereka dipandang sangat bermakna dan berjasa besar karena telah memberi bekal untuk survivalitas hidup di alam dunia dan keselamatan akhirat pascakehidupan dunia. Sedangkan pemimpin pemerintahan berjasa dalam mengatur ketertiban kehidupan publik melalui penyediaan iklim dan kesempatan bekerja, mengembangkan kesempatan bidang ekonomik, mengakomodasi kebe-basan beribadat, memelihara suasana aman, dan membangun kebersamaan atau keberdayaan secara partisipatif. Dalam dimensi religiusitas, sebutan figur Rato dalam perspektif etnik Madura dipersamakan dengan istilah ulil amri yang sama-sama wajib untuk dipatuhi.
Persoalan yang paling mendasar sesungguhnya terletak padapemaknaan kultural tentang kepatuhan dalam konteks subordinasi, hegemoni, eksploitasi, dan berposisi kalah sepanjang hidup. Pemaknaan tersebut perlu diletakkan dalam posisi yang berkeadilan dan proporsional. Jika kepatuhan hierarkis kepada figur I dan II tidak ada masalah karena terbentang luas untuk memperoleh dan men-gubahnya secara siklis maka upaya untak mengubah kepatuhan hierarkis pada figur III dan IV dapat ditempuh melalui kerja keras dan optimisme disertai bekal pengetahuan yang sangat memadai. Karenanya, persoalan-persoalan kultural ten-tang konsepsi kepatuhan sesungguhnya bukanlah sesuatu yang tanpa solusi un-tuk mengubahnya.
Ungkapan budaya Madura: mon kerras pa-akerres (jika mampu dan kompe-ten untuk berkompetisi maka harus wibawa, kharismatik, dan efektif layaknya sebilah keris) kiranya dapat mengilhami para individu entitas etnik Madura untuk meraih keberhasilan dan ketenteraman dalam menjalani kehidupan yang berdaya di dunia maupun di akhirat.

Keunikan Budaya
Istilah unik menunjuk pada pengertian leksikal bahwa entitas etnik Madura merupakan “komunitas tersendiri” yang mempunyai karakteristik ber-beda dengan etnik lain dalam bentuk maupun jenis etnografinya (Alwi, 2001: 1247). Keunikan budaya Madura itu tampak tidak sejalan dengan kuatitas ko-munalnya yang menyebar ke berbagai daerah di Nusantara, yakni 9,7 Juta Jiwa (7,5%), menempati peringkat kuantitas etnik terbesar setelah Jawa (45%) dan Sunda (14%) (Kompas, 24 Sept. 2005). Walaupun kedua konsepsi itu tampak tidak sejalan tetapi realitasnya mencerminkan kondisi itu.
Hingga saat ini komunalitas etnik Madura di daerah-daerah perantauan masih tetap harus “berjuang” untuk mempertahankan survivalitasnya dalam menghadapi arus industrialisasi dan modernisasi yang semakin cepat. Ke-beradaan mereka seolah-oleh kian menyusut karena mereka ternyata mulai eng-gan mengakui komunitas asalnya saat status sosial ekonominya meningkat. Keengganan untuk mengakui identitas asal mereka dapat dimengerti karena se-lama ini citra tentang orang Madura selalu jelek sedangkan komunitasnya cenderung termarginalkan sehingga menimbulkan “image traumatik.”
Identitas diri mereka makin tidak dapat dikenali karena ada kecenderun-gan escapistic dalam berinteraksi sosial di daerah perantauan. Dalam istilah lain, mereka “melucuti identitasnya” yang merupakan ciri khas dan karakteristik et-nisitas sesungguhnya yang justru masih melekat erat pada dirinya. Termasuk di dalamnya juga menyembunyikan penggunaan berbahasa Madura antarsesama etnik. Kondisi sosiologis demikian jarang ditemukan pada komunitas etnik lain karena sesungguhnya penggunaan bahasa lokal untuk sesama etnik justru memunculkan kebanggaan tersendiri. Ungkapan budaya (etnografi), misalnya taretan dhibi’ (saudara sendiri) dalam bertutur-bahasa Madura saat berkomunikasi dengan sesama etnik kadang cenderung mempererat persaudaraan serantau seka-ligus dukungan untuk saling memberdayakan. Penggunaan konsep budaya tare-tan dhibi’ justru seriung ditirukan oleh individu etnik lainnya sebagai ungkapan tentang bertemunya dua orang Madura atau lebih dalam satu lokasi.
Keunikan budaya Madura pada dasarnya banyak dibentuk dan dipenga-ruhi oleh kondisi geografis dan topografis hidraulis dan lahan pertanian tadah hu-jan yang cenderung tandus sehingga survivalitas kehidupan mereka lebih banyak melaut sebagai mata perncarian utamanya. Mereka pun dibentuk oleh kehidupan bahari yang penuh tantangan dan risiko sehingga memunculkan keberanian jiwa dan fisik yang tinggi, berjiwa keras dan ulet, penuh percaya diri, defensif dalam berbagai situasi bahaya dan genting, bersikap terbuka, lugas dalam bertutur, serta menjunjung martabat dan harga diri. Watak dasar bentukan iklim bahari demikian kadang kala diekspresikan secara berlebihan sehingga memunculkan konflik dan tindak kekerasan fisik. Oleh karena itu, perilaku penuh konflik diser-tai tindak kekerasan “dikukuhkan dan dilekatkan” sebagai keunikan budaya pada tiap individu kelompok atau sosok komunitas etnik Madura.
Penghormatan yang berlebihan atas martabat dan harga diri etniknya itu seringkali menjadi akar penyebab dari berbagai konflik dan kekerasan. Kondisi itu terjadi karena hampir setiap ketersinggungan senantiasa dinisbatkan kepada/atau diklaim sebagai pelecehan atau penghinaan atas martabat dan harga diri mereka. Sebagian anak-anak muda Madura di perantauan ─ biasanya tidak memperoleh kesempatan pendidikan yang memadai ─ secara sengaja tampak menonjolkan ci-tra negatif etnik-komunalnya untuk menakut-nakuti orang lain agar mendapat keuntungan individual secara sepihak.
Kearifan budaya Madura yang juga menjadi keunikan etnografisnya tam-pak pada perilaku dalam memelihara jalinan poersaudaraan sejati. Hal itu ter-gambar dari ungkapan budaya oreng dhaddhi taretan, taretan dhaddhi oreng, (orang lain bisa menjadi/dianggap sebagai saudara sendiri, sedangkan saudara sendiri bisa menjadi/dianggap sebagai orang lain). Keunikan yang muncul dari ungka-pan kultural (pseudo-kinship) itu diwujudkan dalam bentuk perilaku aktual. secara konkret, ucapan kultural tersebut memiliki makna bahwa kecocokan dalam men-jalin persahabatan atau persaudaraan dapat dikukuhkan secara nyata dan abadi. Artinya, orang lain yang berperilaku sejalan dengan watak-dasar individu etnik Madura dapat dengan mudah diperlakukan sebagai saudara kandungnya (pseudo-kinship). Sebaliknya, saudara kandung dapat diperlakukan sebagai orang lain jika seringkali mengalami ketidakcocokan pendapat, pandangan, dan pendirian (Wi-yata, 2005: 4; Astro, 2006: 2).
Keunikan “budaya persaudaraan” tersebut , menurut Glaser & Moynihan (1981: 50) dapat terjadi karena adanya persamaan atau kesesuaian dengan keseru-paan unsur-unsur penting primordial, misalnya genealogi (keturunan dan ikatan kekerabatan, sistem kepercayaan (agama dan ritulitasnya), dan kesamaan berba-hasa. Dalam realitasnya, elemen primordial itu dapat membentuk identitas etnik baru sebagai identitas tersendiri yang yang teraktualisasikan dalam perilaku et-nografinya. Oleh karenanya, elemen primordial di antara kelompok-kelompok et-nik dapat menjadi unsur pembeda.
Seringkali keunikan kultural melahirkan perilaku absurd berupa sikap de-fensif sebagian kelompok etnik Madura. Misalnya, orang Madura dikenal mudah tersinggung harga-dirinya dan kemudian marah-marah, kemudian memilih alter-natif solusi atas ketersinggungannya itu melalui kekerasan fisik, berupa carok. seo-rang Madura yang defensif serta-merta akan menegaskan jatidiri etniknya dengan lontara humor pernyataan sanggahan: “Anda tahu, bahwa orang Madura dalam kondisi apa pun tidak akan pernah tersinggung apalagi marah-marah. Lho, koq begitu? Karena begitu seseorang berniat untuk melakukannya, dia sudah terkapar lebih dulu karena terkena sabetan cluritnya...”
Contoh lain dapat dihadirkan atas perilaku unik (absurditas-etnografi) orang Madura. “Seorang pemuda Madura datang dari pelosok desa hendak non-ton sepak bola ke Stadion 10 November Surabaya. Saat akan menyeberang naik Ferry, tiket yang dibelinya diminta petugas, disobek menjadi dua, sobekan kecil dikembalikan sedangkan sobekan besar diambil petugas itu. Melihat perilaku petugas Ferry itu, pikirannya galau dan tidak menentu. Dia kembali untuk mem-beli lagi 2 karcis sekaligus: 1 lembar diberikan kepada petugas Ferry sedangkan satu lembar sisanya disembunyikan di dalam saku celananya untuk menyelamat-kan sobekan petugas. Dengan perasaan tenang dan hati yang ternteram, dia melangkah mantap… menaiki deck kapal Ferry, untuk menyeberang…”

Stereotip Budaya
Penggunaan istilah stereotip dalam etnografi diartikan sebagai konsepsi mengenai sifat atau karakter suatu kelompok etnik berdasarkan prasangka subjek-tif yang tidak tepat oleh kelompok etnik lainnya (Alwi, 2001: 1091). Dalam reali-tasnya, perilaku dan pola kehidupan kelompok etnik Madura tampak sering dike-sankan atas dasar prasangka subjektif oleh orang luar Madura. Kesan demikian muncul dari suatu pencitraan yang tidak tepat, baik berkonotasi positif maupun negatif. Prasangka subjektif itulah yang seringkali melahirkan persepsi dan pola pandang yang keliru sehingga menimbulkan keputusan individual secara sepi-hak yang ternyata keliru karena subjektivitasnya. Dalam perspektif budaya, setiap kelompok etnik berpeluang memiliki penilaian dan justifikasi subjektif-stereotipikal dari kelompok etnik lainnya yang diidentifikasi atas dasar false gener-alization atas parsialitas perilaku yang ternyata tidak representatif (Glaser & Moynihan, 1981: 27)
Astro (2006: 1) mengemukakan contoh dalam sebuah artikel tentang stereo-tip kelompok etnik manusia Madura oleh komunitas etnik lain, yaitu: berkulit hi-tam legam, berpostur tubuh tinggi besar, berkumis lebat, dan berbusana garis se-lang-seling merah-hitam yang dibalut oleh baju dan celana longgar serba hitam, serta menakutkan. Pencitraan kurang tepat lainnya, bahwa orang Madura itu memiliki sosok yang angker, tidak kenal sopan santun, kasar, beringas, dan mu-dah membunuh. Pelabelan demikian mengjadi hilang atau berkurang jika realitas budaya yang dijumpainya tidak sedikit pun menggambarkan persepsi sebagai-mana yang telah tertanam-kuat dalam pikirannya.
Untuk memberi pemahaman yang relatif efektif tentang gambaran nyata, utuh, dan lengkap tentang bagaimana sesungguhnya sosok etnik Madura ─ den-gan segala kekurangan dan kelebihannya ─ dapat dilakukan upaya yang me-mungkinkan. Di antara upaya itu adalah ta’aruf (saling mengenal atau memperke-nalkan jatidiri etnografi masing-masing) dalam segala jenis dan bentuknya. pen-genalan kulturan demikian diharapkan mampu menghilangkan ─ sekurang-kurangnya mereduksi ─ kesan dan pencitraan subjektif atas dasar persepsi sepi-hak yang tertanam begitu kuat dalam pikiran kelompok-kelompok etnik masing-masing.
Sebaliknya, persepsi, penilaian, dan justifikasi secara sepihak seringkali dimunculkan oleh individu maupun kelompok etnik Madura tentang perilaku dan pola kehidupan etnik lain , semata-mata didasarkan juga oleh gambaran pikiran maupun prasangka subjektifnya. Jika pandangan subjektif itu tidak mampu terjembatani secara arif dan efektif maka kesalahpahaman cenderung dan mudah muncul yang kemudian bermuara pada konflik etnik atau budaya.

Stigma Budaya
Pemaknaan atas istilah stigma menunjuk pada pengertian tentang ciri negatif yang menempel kuat pada pribadi atau entitas etnik karena pengaruh lingkungan yang membentuknya (Alwi, 2002: 1091). Stigma yang paling kuat dan menonjol pada kelompok etnik Madura adalah kekerasan fisik yang bermuara pada adu-ketangguhan dengan bersenjatakan clurit. Tindakan kekerasan itu ke-mudian dikenal populer dengan istilah Carok.
Menurut Ibnu Hajar, budayawan Madura asal Sumenep, bahwa carok se-sungguhnya merupakan sarkasme bagi entitas budaya Madura. Dalam sejarah orang Madura, belum dikenal istilah carok massal sebab carok adalah duel satu lawan satu, dan ada kesepakatan sebelumnya untuk melakukan duel. Malah dalam persia-pannya, dilakukan ritual-ritual tertentu menjelang carok berlangsung. Kedua pi-hak pelaku carok, sebelumnya sama-sama mendapat restu dari keluarga masing-masing. Karenanya, sebelum hari H duel maut bersenjata celurit dilakukan, di rumahnya diselenggarakan selamatan dan pembekalan agama berupa pengajian. Oleh keluarganya, pelaku carok sudah dipersiapkan dan diikhlaskan untuk ter-bunuh.
Yang terjadi di Desa Bujur Tengah bukanlah dikategorikan carok, tapi tawuran massal, kerena tidak sesuai dengan arti carok sebenarnya. Carok adalah se-buah pembelaan harga diri ketika diinjak-injak oleh orang lain, yang berhubungan dengan harta, tahta, dan wanita. Intinya adalah demi kehormatan. Ungkapan etnografi yang menyatakan, etembang pote mata lebih bagus pote tolang (daripada hidup menang-gung perasaan malu, lebih baik mati berkalang tanah) yang menjadi motivasi un-tuk melakukan carok, seharusnya tidak dipahami secara eksklusif, karena setiap orang di mana saja–tidak hanya orang Madura–punya pemahaman yang sama un-tuk membela harga dirinya (tempo interaktif, 16 Agustus 2006).
Menurut Wiyata (2002: 6), banyak orang mengartikan bahwa setiap bentuk kekerasan, baik berakhir dengan kematian atau tidak, terutama yang dilakukan orang Madura, itu carok. Padahal kenyataannya, tidaklah demikian. Carok selalu dilakukan oleh sesama lelaki dalam lingkungan orang-orang desa. Setiap kali ter-jadi carok, orang membicarakan siapa menang dan siapa kalah. Dalam temuan penelitiannya, Wiyata menegaskan bahwa ternyata carok tidak merujuk pada se-mua bentuk kekerasan yang terjadi atau dilakukan masyarakat Madura, sebagai-mana anggapan orang di luar Madura selama ini. Carok seakan-akan merupakan satu-satunya perbuatan yang harus dilakukan orang-orang pelosok desa yang tak mampu mencari dan memilih opsi lain dalam upaya menemukan solusi ketika mereka sedang mengalami konflik.
Kekurangmampuan para pelaku carok dalam mengekspresikan budi ba-hasa itu lebih mengedepankan perilaku-perilaku agresif secara fisik untuk mem-bunuh orang-orang yang dianggap musuh sehingga, konflik yang berpangkal pada pelecehan harga diri tidak akan pernah mencapai rekonsiliasi. Carok selalu dilakukan sebagai tindakan pembalasan terhadap orang yang melakukan pelece-han harga diri, terutama gangguan terhadap istri sehingga menyebabkan malu. Dalam konteks itu, carok mengindikasikan monopoli kekuasaan suami terhadap istri. Monopoli ini ditafsirkan Wiyata (2002: 8) antara lain dengan ditandai adanya perlindungan secara over.
Karakter yang juga lekat dengan stigma orang Madura adalah perilaku yang selalu apa adanya dalam bertindak. Suara yang tegas dan ucapan yang jujur kiranya merupakan salah satu bentuk keseharian yang bisa kita rasakan jika berkumpul dengan orang Madura. Pribadi yang keras dan tegas adalah bentuk lain dari kepribadian umum yang dimiliki suku Madura. Budaya Madura adalah juga budaya yang lekat dengan tradisi religius. Mayoritas orang Madura memeluk agama Islam. Oleh karena itu, selain akar budaya lokal (asli Madura) syariat Islam juga begitu mengakar di sana. Bahkan ada ungkapan budaya: seburuk-buruknya orang Madura, jika ada yang menghina agama (Islam) maka mereka tetap akan marah.
Carok sebagai sebuah bagian budaya, bukan berlangsung spontan atau se-ketika. Ada proses yang mengiringi sebelum berlangsungnya carok. Biasanya, solusi itu selalu dijadikan jalan efektif ketika harga diri orang Madura merasa ter-hina. Namun demikian selalu ada proses rekonsiliasi terlebih dahulu yang dila-kukan sebelum terjadi carok. Pihak-pihak yang berada di sekitar pihak yang akan melakukan carok, selalu berposisi menjadi negosiator dan pendamai. Carok me-rupakan bagian budaya yang memiliki serangkaian aturan main, layaknya bentuk budaya lainnya.
Ketika akhirnya carok harus terjadi maka tetap ada aturan-aturan main yang melingkupinya. Pelaku carok harus membunuh lawannya dari depan dan ketika lawannya jatuh tersungkur, maka posisi mayat menentukan proses kelanju-tan dari sebuah carok. Jika mayat jatuh dengan posisi terlentang, maka keluarga si mayat berhak melakukan balas dendam. Posisi mayat yang terlentang, seolah di-jadikan komunikasi terakhir, yang dimaknai sebagai bentuk ketidakterimaan ma-yat terhadap kondisinya (yang menjadi korban carok). Akan tetapi, jika posisi ma-yat telungkup dengan muka menghadap tanah maka balas dendam menjadi tabu untuk dijalankan oleh keluarga yang menjadi korban carok.
Hingga saat ini, sebenarnya carok kadang terjadi dalam komunitas etnik Madura, baik di Madura maupun di daerah Tapal Kuda — Probolinggo, Luma-jang, Jember, Bondowoso, dan Situbondo. Hanya saja, carok yang berlangsung bersifat individual. Kegagalan pemerintah sebagai penyelenggara utama adminis-trasi bidang-bidang kehidupan di negara ini juga terlihat ketika kultur yang ber-bentuk kekerasan masih tetap terjadi di beberapa daerah. Pengetahuan sebagai warga bangsa masih terlampau kecil disadari oleh berbagai individu. Hal ini tentu saja karena tingkat pendidikan masih sangat rendah. Pendidikan agama dan re-ligiusitas haruslah menjadi proses bagi manusia untuk mengetahui mana yang baik dan buruk sesuai dengan pertimbangan nurani dan akal. Selain itu, tokoh agama semisal figur kyai juga masih terlihat lemah dalam mengisi mental rakyat dengan siraman rohani yang mengutamakan persaudaraan dan perdamaian dalam menyelesaikan persoalan hubungan antarmanusia. Jika ada sinergi yang kuat antara peran lembaga pemerintah dan tokoh agama, tentu kekerasan kultural dapat dihapuskan.

Penutup
Demikian sekedar urun rembug tentang Islam dan Budaya Madura dari sisi keberagamaan pola kehidupan komunitas etnik. Deskripsi tentang budaya Madura yang dibatasi dalam fokus kajian kekhasan, keunikan, stereotipikal, dan stigma etnografi diharapkan mampu memberi kejernihan, kecermatan, ketepatan, kecerahan, dan kecerdasan pola pandang bagi warga-bangsa untuk membagun kebersamaan dalam keanekaragaman dalam suasana damai, tertib, dan sejahtera. Semoga artikel ringkas ini memberi manfaat.


Rujukan
Alwi, Hasan. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ed. III. Jakarta: Depdiknas RI dan Balai Pustaka.
Astro, Masuki M. 2006. orang Madura peramah yang Sering Dikonotasikan Negatif. (http://www.mamboteam.com) diakses 4 November 2006.
Azra, Azumardi. 1999. Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam. Cet. I. Ja-karta: Paramadina.
Glaser, N & Moynihan, DP (Eds.) 1981. Etnicity: Theory and Experience. Cambridge: Harvard University Press.
Rahman, Fazlur. 1999. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition Chicago; The university of Chicago Press.
Wiyata, A. Latief. 2002. Carok; Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura. Yogyakarta: LKiS.
Wiyata, A. Latief. 2003. Madura yang Patuh?; Kajian Antropologi Mengenai Budaya madura. Jakarta: CERIC-FISIP UI.
Wiyata, A. Latief. 2005. Model Rekonsiliasi Orang Madura. (http://www.fisip.ui. edu/ceric) diakses 16 Agustus 2006.



HAKIKAT DAN KARAKTERISTIK KARYA ILMIAH

HAKIKAT DAN KARAKTERISTIK
KARYA ILMIAH

By: Syamsul Hadi

A. Hakikat Karya Ilmiah
Karya ilmiah merupakan karya tulis yang menyajikan gagasan, deskripsi atau pemecahan masalah secara sistematis, disajikan secara objektif dan jujur, dengan menggunakan bahasa baku, serta didukung oleh fakta, teori, dan atau bukti-bukti empirik.
Tujuan penulisan karya ilmiah, antara lain menyampaikan gagasan, memenuhi tugas dalam studi, untuk mendiskusikan gagasan dalam suatu pertemuan, mengikuti perlombaan, serta untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan/hasil penelitian.
Karya ilmiah dapat berfungsi sebagai rujukan, untuk meningkatkan wawasan, serta menyebarluaskan ilmu pengetahuan. Bagi penulis, menulis karya ilmiah bermanfaat untuk meningkatkan keterampilan membaca dan menulis, berlatih mengintegrasikan berbagai gagasan dan menyajikannya secara sistematis, memperluas wawasan, serta memberi kepuasan intelektual, di samping menyumbang terhadap perluasan cakrawala ilmu pengetahuan.
Karya ilmiah populer adalah karya ilmiah yang disajikan dengan gaya bahasa yang populer atau santai sehingga mudah dipahami oleh masyarakat dan menarik untuk dibaca.

B. Karakteristik Karya Ilmiah
Karakteristik sebuah karya ilmiah dapat dikaji dari minimal empat aspek, yaitu struktur sajian, komponen dan substansi, sikap penulis, serta penggunaan bahasa.
Struktur sajian karya ilmiah sangat ketat, biasanya terdiri dari bagian awal (pendahuluan), bagian inti (pokok pembahasan), dan bagian penutup. Bagian awal merupakan pengantar ke bagian inti, sedangkan inti merupakan sajian gagasan pokok yang ingin disampaikan yang dapat terdiri dari beberapa bab atau subtopik. Bagian penutup merupakan simpulan pokok pembahasan serta rekomendasi penulis tentang tindak lanjut gagasan tersebut.
Komponen karya ilmiah bervariasi sesuai dengan jenisnya, namun semua karya ilmiah mengandung pendahuluan, bagian inti, penutup dan daftar pustaka. Artikel ilmiah yang dimuat dalam jurnal mempersyaratkan adanya abstrak.
Sikap penulis dalam karya ilmiah adalah objektif, yang disampaikan dengan menggunakan gaya bahasa impersonal, dengan banyak menggunakan bentuk pasif, tanpa menggunakan kata ganti orang pertama atau kedua.
Bahasa yang digunakan dalam karya ilmiah adalah bahasa baku yang tercermin dari pilihan kata/istilah, dan kalimat-kalimat yang efektif dengan struktur yang baku.


PERSIAPAN PENULISAN KARYA ILMIAH


A. Persiapan Penulisan Karya Ilmiah
Tahap persiapan penulisan karya ilmiah terdiri dari kegiatan-kegiatan berikut ini.
1. Pemilihan topik/masalah untuk tulisan, yang dapat dilakukan dengan cara merumuskan tujuan dengan jelas dan spesifik serta menentukan dan menelusuri topik tulisan agar lebih terfokus.
2. Pengidentifikasian calon pembaca.
3. Penentuan cakupan materi untuk tulisan.

B. Pengumpulan Informasi untuk Penulisan Karya Ilmiah
Pokok-pokok materi yang telah anda pelajari adalah berikut ini.
1. Proses pengumpulan data/informasi untuk keperluan penulisan karya ilmiah dapat dilakukan dengan cara penelusuran bahan atau sumber bacaan di perpustakaan dan melacak informasi dari orang-orang yang ahli dalam bidang tertentu dengan jalan mewawancarainya.
2. Dalam memanfaatkan perpustakaan, ada beberapa bagian yang perlu diketahui cara penggunaannya, yaitu encyclopedia, bibliografi, periodical, referensi, data statistik, dan terbitan-terbitan pemerintah.
3. Penelusuran pustaka dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu lewat online catalog, biasanya menggunakan terminal komputer sebagai sumber informasinya, dan card-catalog (kartu katalog), dimana semua informasi tentang pengarang/penulis buku/artikel, judul buku dan subjek/topik tulisan dicatat dalam kartu.
4. Terdapat 3 (tiga) jenis kartu katalog yang dapat digunakan pada saat penelusuran pustaka, yaitu kartu katalog yang berisi informasi tentang pengarang/penulis, judul buku/artikel dan subjek/topik yang ditulis.
5. Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam penelusuran data/informasi untuk tulisan dengan cara wawancara adalah berikut ini.
a. Menentukan siapa yang akan diwawancarai.
b. Mengembangkan pedoman wawancara.
c. Melaksanakan wawancara.
d. Mengolah data hasil wawancara.
6. Pedoman wawancara yang berisi daftar pertanyaan yang akan diajukan merupakan salah satu prasyarat terpenting yang menentukan keberhasilan suatu wawancara. Pedoman wawancara ini harus dikembangkan berdasarkan cakupan materi atau permasalahan yang akan dikembangkan dalam karya tulis ilmiah.


TEKNIK MENULIS DAN KEMAMPUAN
BERPIKIR ILMIAH


A. Menulis Karya Ilmiah
1. Karya tulis ilmiah adalah hasil rangkaian gagasan yang merupakan hasil pemikiran yang didasarkan pada fakta, peristiwa, dan gejala yang disampaikan secara akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
2. Persyaratan bagi sebuah tulisan untuk dianggap sebagai karya ilmiah adalah menyajikan aplikasi hukum alam pada situasi spesifik, cermat, tepat, jujur, dan tidak bersifat terkaan, sistematis, dilengkapi dukungan dan pembuktian, tulus dan bersifat ekspositoris.
3. Empat tabu bagi penulis ilmiah adalah mengakui tulisan orang lain, menukangi, menutupi kebenaran dengan sengaja, dan menyulitkan pembaca.
4. Faktor yang mempengaruhi kualitas tulisan ilmiah dilihat dari penggunaan bahasa adalah pemilihan kata yang tepat, pendefinisian yang tepat, dan penulisan yang singkat. Sementara itu, tulisan karya ilmiah yang komunikatif dapat dihasilkan dengan memperhatikan gaya menulis, penyampaian ide, dan ekspresi.

B. Teknik Menulis Artikel Konseptual
1. Tiga faktor yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan efektivitas tulisan adalah panjang tulisan, judul, dan nada.
2. Abstrak tulisan konseptual (75-100 kata) mencakup informasi tentang topik (yang dinyatakan dalam satu kalimat), tujuan, hipotesis, ruang lingkup artikel, sumber yang digunakan (misalnya observasi personal, literatur yang dipublikasikan), dan kesimpulan.

C. Teknik Menulis Laporan dan Artikel Penelitian
1. Tujuh aspek materi yang harus diperhatikan pada saat menulis laporan atau artikel ilmiah (Bartol, 1981) adalah signifikansi pertanyaan penelitian, reliabilitas, yang validitas instrumen penelitian, kesesuaian hasil dengan variabel yang diteliti, kesesuaian desain penelitian, keterwakilan populasi dalam partisipan, penerapan standar etika, dan kesiapan pelaporan hasil.
2. Tujuh aspek teknis yang harus diperhatikan kelengkapannya dalam menulis laporan atau artikel hasil penelitian adalah halaman judul, abstrak, pendahuluan, metode, hasil, diskusi, dan referensi.

MENULIS KARYA ILMIAH
SESUAI DENGAN TARGET PEMBACA


A. Bagaimana Pembaca Memahami Tulisan
1. Input dalam proses membaca ialah bahan tertulis yang dibaca, sedangkan output-nya adalah pemahaman terhadap bahan tertulis tersebut. Input lainnya dalam kegiatan membaca ialah kondisi yang mempengaruhi pembaca. Kondisi tersebut diantaranya ialah kondisi internal pembaca yang meliputi pengetahuan dan pengalaman sebelumnya.
2. Pengetahuan pembaca terhadap kata berhubungan dengan aspek semantik, sintaktik, dan pragmatik dari kata tersebut. Aspek semantik berkaitan dengan makna luas dari sebuah kata itu. Aspek sintaktik terkait dengan pengkategorian kata. Pengetahuan pembaca mengenai aspek pragmatik memungkinkan pembaca memahami arti kata dalam tulisan berdasarkan arti secara keseluruhan dari tulisan tersebut.
3. Pemaknaan kata dijelaskan dalam dua teori berikut. Pertama, makna kata merujuk pada objek yang dinyatakan oleh kata tersebut. Misalnya, makna kata “kursi” terkait dengan objek yang digunakan untuk duduk. Namun, tidak semua kata memiliki objek sebagai rujukannya. Teori lain menyatakan bahwa kata tidak merujuk kepada objek tetapi pada konsep. Oleh karena itu kata tertentu tetap digunakan meskipun objeknya telah berganti.
4. Proses membaca dipengaruhi oleh empat kondisi pembaca, yaitu (1) kemampuan pembaca dalam memproses kata dan kalimat, (2) kemampuan pembaca memahami apa yang tersirat, (3) kemampuan pembaca menangani kata-kata baru, dan (4) kemampuan pembaca untuk memilih informasi dalam tulisan berdasarkan kebutuhannya.

B. Target Pembaca
1. Pemahaman terhadap target pembaca dan karakteristiknya merupakan kunci untuk membuat tulisan ilmiah yang berhasil. Penulis perlu mencari tahu hal-hal yang terkait dengan target pembaca melalui pertanyaan (1) siapa yang akan membaca tulisan ini, (2) apa yang mereka ketahui mengenai subjek yang ditulis ini, (3) mengapa mereka akan membaca tulisan ini, dan (4) bagaimana mereka akan membaca tulisan ini?
2. Target pembaca digolongkan dalam (1) masyarakat akademis, (2) masyarakat ilmiah, (3) penyandang dana, dan (4) masyarakat umum.
3. Karakteristik dari target pembaca masyarakat akademis ialah bersifat menguji terhadap tulisan ilmiah yang dibacanya. Pembaca memfokuskan pada keakuratan informasi serta cara memperoleh informasi tersebut.
4. Karakteristik target pembaca ini ialah mereka membaca untuk menambah pengetahuan keilmuan dalam bidangnya. Laporan ilmiah untuk target pembaca masyarakat ilmiah mementingkan unsur kebaruan dan keaslian. Informasi ilmiah yang baru dan orisinal sangat dihargai oleh target pembaca masyarakat akademis.
5. Laporan ilmiah untuk target pembaca penyandang dana menekankan pada kekonsistenan terhadap TOR. Informasi dalam laporan ilmiah perlu konsisten dengan yang disyaratkan pada TOR. Meskipun laporan ilmiah merupakan “pesanan” penyandang dana, namun objektivitas perlu dijaga sesuai dengan etika ilmiah. Pengertian pesanan dalam hal ini, hanyalah menyangkut tujuan kegiatan ilmiah, bukan pada hasilnya.
6. Penulisan yang ditujukan pada target pembaca masyarakat umum memerlukan cara mengomunikasikan hasil penelitian yang hati-hati, cermat, dan teliti. Pengungkapan harus lebih mudah dipahami oleh masyarakat awam dengan cara pengungkapan bahasa sehari-hari yang populer. Istilah teknis sedapat mungkin dihindari agar memudahkan pembaca memahaminya. Topik yang diangkat dalam tulisan difokuskan pada informasi yang sudah pasti saja yang sudah disepakati oleh kebanyakan pakar. Laporan ilmiah dengan target pembaca masyarakat umum perlu menekankan pada informasi yang praktis dan terkait dengan kehidupan sehari-hari mereka.

MENULIS KARYA ILMIAH


A. Sistematika dan Cara Penyusunan Laporan Penelitian
Secara umum, sistematika suatu laporan penelitian yang lengkap terdiri dari 3 bagian pokok, yaitu (1) bagian pembuka, (2) bagian inti, dan (3) bagian penutup.
Bagian pembuka sebuah laporan penelitian lengkap harus mengandung komponen-komponen berikut ini.
1. Judul.
2. Halaman judul.
3. Halaman pengesahan.
4. Halaman penerimaan.
5. Kata pengantar.
6. Abstrak.
7. Daftar isi.
8. Daftar tabel.
9. Daftar grafik, bagan atau skema.
10. Daftar singkatan dan lambang.
Bagian pembuka umumnya digunakan apabila laporan penelitian merupakan tulisan yang berdiri sendiri secara utuh. Untuk laporan penelitian dalam jurnal atau bagian dari sebuah buku, tidak seluruh unsur dalam bagian pembuka tersebut digunakan.
Bagian inti merupakan menyajikan atau mengomunikasikan informasi ilmiah yang ingin disampaikan. Pada bagian inti inilah seluruh komponen pendahuluan, kajian pustaka dan kerangka teori, metodologi penelitian, hasil dan pembahasan, serta simpulan dan saran disajikan secara lengkap.
1. Pendahuluan
Pendahuluan merupakan tulisan yang disusun untuk memberikan orientasi kepada pembaca mengenai isi laporan penelitian yang akan dipaparkan, sekaligus perspektif yang diperlukan oleh pembaca untuk dapat memahami informasi yang akan disampaikan.
2. Kajian Pustaka dan Keterangan Teori
Kajian pustaka mengungkapkan teori-teori serta hasil-hasil penelitian terdahulu yang pernah dilakukan pada topik yang sama atau serupa. Berdasarkan analisi terhadap pustaka tersebut, peneliti dapat membatasi masalah dan ruang lingkup penelitian, serta menemukan variabel penelitian yang penting dan hubungan antarvariabel tersebut.
3. Metodologi Penelitian
Pada bagian ini biasanya dijelaskan secara rinci mengenai desain penelitian, populasi dan sampel penelitian, metode pengumpulan dan analisis data serta kelemahan penelitian.
4. Hasil dan Pembahasan
Hasil dan pembahasan pada dasarnya merupakan inti dari sebuah tulisan ilmiah. Pada bagian ini penulis menyajikan secara cermat hasil analisis data serta pembahasannya berdasarkan kajian pustaka dan kerangka teori yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya.
5. Simpulan dan Saran
Simpulan adalah gambaran umum seluruh analisis dan relevansinya dengan hipotesis dari penelitian yang dilakukan. Simpulan diperoleh dari uraian analisis, interpretasi dan deskripsi yang telah dituliskan pada bagian analisis dan pembahasan. Untuk menulis simpulan, penulis perlu mengajukan pertanyaan pada diri sendiri tentang hasil apa yang paling penting dari penelitian yang dilakukan. Jawaban dari pertanyaan tersebutlah yang dituliskan pada bagian simpulan. Pada bagian akhir, biasanya simpulan disertai dengan saran mengenai penelitian lanjut yang dapat dilakukan.
Bagian penutup pada umumnya terdiri dari (1) daftar pustaka, (2) lampiran, serta (3) daftar indeks dan glosarium. Daftar pustaka merupakan hal yang wajib dicantumkan, sedangkan lampiran dan daftar indeks hanya dituliskan apabila diperlukan. Daftar pustaka yang dimasukkan adalah hanya yang signifikan dan terkait dengan penelitian, baik dalam bentuk bahan cetakan, elektronik atau seminar. Daftar pustaka yang disusun sesuai standar internasional yang paling banyak digunakan, yaitu standar dari Association of American Psychology (APA).
Lampiran dapat berupa tabel, gambar, peta, bagan, instrumen penelitian, seperti kuesioner atau daftar checklist untuk observasi, dan bentuk lain yang terkait dengan penjelasan yang telah dipaparkan dalam bagian inti laporan.
Indeks adalah daftar kata atau istilah yang terdapat pada laporan. Penulisan indeks harus berkelompok berdasarkan abjad awal kata atau istilah yang akan dituliskan. Penulisan indeks ditujukan agar pembaca dapat dengan cepat mencari istilah atau kata-kata khusus yang terdapat dalam laporan tersebut.



B. Sistematika dan Cara Penyusunan Makalah
Makalah pada dasarnya merupakan bentuk karya ilmiah yang paling sederhana di antara karya ilmiah lainnya. Menurut Efendi (1991) makalah diartikan sebagai karya ilmiah yang menyajikan suatu masalah yang pembahasannya berdasarkan data di lapangan yang bersifat empiris-objektif. Makalah juga dapat berupa penyajian pemikiran ataupun mendiskusikan suatu wacana yang dianalisis secara ilmiah, yang juga terdiri dari bagian pembuka, inti dan penutup.
Bagian pembuka pada penulisan pada penulisan makalah sangat sederhana dan umumnya dituangkan dalam halaman judul saja. Karena sifatnya yang singkat, pada umumnya antara 5-20 halaman tergantung keperluan dan aturan yang dikenakan maka pada makalah tidak lazim disertakan keterangan, misalnya “Daftar Isi” dan “Kata Pengantar”.
Bagian Inti makalah hasil penelitian, seperti halnya pada laporan penelitian, berisi pengantar/pendahuluan, metodologi penelitian, kajian pustaka dan kerangka teori, hasil dan pembahasan, serta simpulan dan saran. Perbedaannya dengan laporan penelitian, penyampaian uraian unsur-unsur ini dalam makalah disajikan dalam versi yang lebih singkat.
Bagian Penutup digunakan untuk menyampaikan simpulan hasil penelitian.

C. Penyusunan Abstrak
Secara umum abstrak dapat diartikan sebagai versi mini dari sebuah karya ilmiah. Menurut Houghton (1975) abstrak dapat didefinisikan sebagai rangkuman informasi yang terdapat dalam sebuah dokumen. Abstrak untuk karya ilmiah harus menyajikan rangkuman singkat dari tiap bagian penting dalam karya ilmiah seperti pembukaan, kajian materi dan metode, hasil, dan pembahasan.
Dalam penulisan sebuah karya, setidaknya ada dua jenis yaitu: abstrak informatif dan abstrak deskriptif. Abstrak informatif merupakan ringkasan dan memuat hal-hal pokok yang asli dalam sebuah karya ilmiah. Abstrak informatif banyak digunakan dalam penulisan makalah jurnal atau penulisan karya ilmiah hasil penelitian. Abstrak deskriptif dirancang untuk menunjukkan subjek atau bahasan dari sebuah karya ilmiah, yang mempermudah calon pembaca untuk memutuskan akan membaca seluruh karya tersebut atau tidak.
Abstrak sebuah karya ilmiah dapat diterbitkan bersama-sama dengan naskah aslinya, tetapi dapat juga diterbitkan secara tersendiri. Apabila abstrak diterbitkan bersama dengan naskah aslinya maka abstrak dapat berfungsi sebagai petunjuk depan atau heading bagi pembaca. Dengan membaca abstrak, pembaca mengetahui tentang isi tulisan tersebut seehingga pembaca dapat menentukan secara cepat apakah dia perlu membacanya atau tidak membaca dengan cepat.
Abstrak untuk karya tulis hasil penelitian menggunakan jenis abstrak informatif yang memiliki struktur yang jelas. Seperti telah dijelaskan sebelumnya abstrak penulisan laporan penelitian pada intinya terdiri dari 5 hal penting, yaitu (1) latar belakang, (2) tujuan, (3) metode, (4) hasil, dan (5) simpulan.

PRESENTASI LISAN YANG EFEKTIF


A. Kriteria dan Persiapan Presentasi Efektif
Presentasi yang efektif memenuhi kriteria sebagai presentasi yang komunikatif, memicu berpikir pendengarnya dan memotivasi untuk melakukan tindakan sebagai tindak lanjut. Di samping itu, presentasi efektif, materi atau isinya harus akurat, benar, tepat, dan lengkap.
Mempersiapkan suatu presentasi dilakukan melalui serangkaian langkah. Pertama, menganalisis siapa yang akan menjadi peserta atau pendengar presentasi, dengan memperhatikan di antaranya karakteristik, pekerjaan dan minat mereka. Pemahaman terhadap pendengar akan membantu pembicara untuk membuat kaitan atau hubungan antara topik yang dibahas dengan kebutuhan dan minat peserta. Langkah kedua, menyusun garis besar materi dan melengkapi persiapan melalui riset tambahan, dilanjutkan dengan menyiapkan visual dan berlatih melakukan presentasi dengan menggunakan perangkat presentasi yang telah dikembangkan.

B. Menyampaikan Presentasi
Kegiatan belajar ini membahas tentang berbagai faktor yang harus dipertimbangkan dalam menyajikan suatu presentasi. Pokok yang dibahas mencakup bagaimana rasa cemas sebagai pembicara yang sering menghambat seseorang untuk dapat berbicara dengan efektif, dengan cara menguasai materi pembicaraan dengan baik. Dalam menyampaikan presentasi perlu memberikan penekanan pada pokok-pokok pikiran yang penting dan menggunakan ilustrasi dalam berbagai bentuk visual, menggunakan pandangan mata untuk berkomunikasi dengan pendengar, menggunakan tanya jawab untuk memberikan klarifikasi berbagai pokok pembahasan serta menepati waktu presentasi bik pada waktu memulai dan mengakhiri presentasi.
Pembicara yang baik perlu melakukan evaluasi apa yang telah dilakukan dan menggunakan hasilnya untuk perbaikan presentasi

IAD - BUMI

MAKALAH
IAD - BUMI


Disusun Oleh :
Syamsul Hadi




SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
PAMEKASAN

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Perumusan Masalah
C. Tujuan dan Manfaat
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Bumi
B. Asal Usul Bumi
C. Ahli Pendapat tentang Bumi
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ketika kita akan membicarakan tentang bumi tidak eksotik dan implisit, sudah menjadi hal yang ekspilit bagi kita semua, yang mana dalam makalah ini membahas tentang bumi sebagai tempat tinggal kita.
Disamping itu juga yang tak kalah pentingnya, yang membuat bumi adalah Allah SWT. Dalam bumi ini sendiri bagi kita sebagai fungsional, dalam pembahasannya nanti difokuskan pada bumi.

B. Perumusan Masalah
Dalam perumusan ini, saya sengaja dibentuk dengan bermacam-macam kalimat tanya agar mudah dimengerti.
 Seperti apa bentuk bumi?
 Apa peranan bumi bagi kita?
 Tujuan bumi dan fungsionalnya?
Mungkin hanya itu, semoga dapat mewakili pada keseluruhannya yang mau dibahas nantinya, dan juga dalam pembahasan makalah ini tidak ngelantur jauh.

C. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dan manfaat bumi bagi kehidupan manusia yaitu menjadi sumber kehidupan, baik rohani maupun jasmani dan juga menjadi landasan atau pijakan kita dalam lalu lintas kehidupan.
Diantara tujuan diadakannya bumi sebagai sarana/ tempat ketentraman makhluk hidup.
Yang menjadi objek pertamanya adalah manusia, kenapa manusia? Karena manusia mempunyai akal dan budi pekerti, dan juga manusia pada dasarnya diciptakan menjadi pengelola di muka bumi ini, maka dari fenomena tersebut semakin jelas bahwa objek utamanya adalah manusia, disamping itu masih banyak contoh kongkritnya mengenai persoalan ini.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Bumi
Bumi merupakan planet kehidupan dimana pelbagai sistem kompleks bekerja dengan penuh kesempurnaan tanpa henti. Apabila dibandingkan dengan planet-planet lain, terbukti dalam segenap aspek bahwa bumi direka cipta untuk kehidupan manusia. Terbina atas kekayaan kesimbangan-keseimbangan, kehidupan terserlah dalam setiap bintik dari atmosfera hingga kedalam bumi.
Salah satu daripada keseimbangan-keseimbangan penting dalam planet telah tersingkap dalam atmosfera yang mengelilingi kita. Atmosfera bumi mengandungi kandungan gas yang paling sesuai dengan hisbah yang amat serasi yang diperlukan bagi kehidupan bukan saja manusia tetapi keseluruhan kehidupan atasnya.
Dengan hanya meneroka sebilangan daripada jutaan kekayaan keseimbangan ini, cukup untuk menunjukkan bahwa dunia direka cipta khas untuk kita.
Bagi kita yang hidup di atas bumi, mungkin anda beranggapan kita sudah sangat memahami hal ihwal kehidupan di planet ini, tetapi belum tentu, ada sejumlah fakta yang mungkin belum anda ketahui. Mungkin sekilas tidak terlintas dalam benak anda, berikut ini adalah beberapa hal yang perlu diketahui yang dikutip dari Beijing Technology. Coba anda jawab sejenak, lihat seberapa luas pemahaman anda tentang masalah ini.
Apakah dalam satu hari itu akan selalu 24 jam?
Pada 1000 tahun silam, satu hari di bumi hanya 18 jam sehari, dan dalam satu hari sekarang adalah 24 jam, menurut hitungan ilmuan, bahwa kelak dimasa yang akan datang, dalam satu hari di bumi akan menjadi 960 jam!
Berapa luas permukaan bumi?
Luas permukaan bumi adalah 510,1 juta km persegi.

B. Asal Usul Bumi
Kurang lebih 1/3 areal bumi merupakan padang pasir, jika manusia tidak membatasi terhadap perilaku individu, maka padang pasir akan semakin meluas. Gurun sahara di Afirka Utara adalah padang pasir yang terluas di dunia adalah 23 kali ubik air tawar tersimpan di bumi, hampir setengahnya dalam setengah mil dekat permukaan bumi. Permukaan Mars juga banyak terdapat air, namun hingga saat ini air yang terdeteksi berupa zat padat, tidak ada yang tahu secara pasti berapa banyak sesungguhnya kandungan air yang terdapat disana.
Menurut kabar, bahwa inti dalam bumi itu sebagiannya adalah benda padat, namun karena suhu yang terlalu tinggi sehingga dikelilingi pusat bumi. Namun, salah satu lempeng yang paling aktif adalah lempeng samudra pasifik, dari Jepang hingga Alaska sampai ke Amerika Selatan.
Bumi merupakan planet yang memiliki atmosfer, air, dan suhu yang memungkinkan terjadinya kehidupan-kehidupan. Dilihat dari susunannya bumi kita terdiri dari atas bagian yang disebut kerak bumi, mantel bumi, dan inti bumi.
Kerak bumi merupakan lapisan bumi yang paling luar. Tebalnya mencapai 30 kilometer. Permukaan kerak bumi terdiri atas daratan dan lautan. Lautan lebih luas daripada daratan. Pada permukaan bumi inilah makhluk hidup tinggal.
Kerak bumi seolah-olah mengapung pada lapisan dibawahnya yaitu mantel bumi. Mantel bumi terdiri atas batuan setengah cair, kental seperti aspal.
Bumi mempunyai lapisan udara dan medan magnet, sinaran ultra berbahaya, dan radiasi dari angkasa lepas. Lapisan udara ini menutupi bumi sehingga ketinggian 700 kilometer dan yang selebihnya dianggap angkasa lepas. Lapisan udara ini dibagi kepada troposfera, stratosfera, mesosfera, termosfera, dan eksosfera.
Lapisan ozon setinggi 50 kilometer terwujud dilapisan stratosfera dan mesosfera dan melindungi bumi daripada sinaran ultra-lembayung. Perbedaan suhu permukaan bumi adalah diantara -700C sehingga 550C bergantung kepada iklim tempatan. Sehari di bumi bersamaan 24 jam dan setahun di bumi bersamaan 365,25 hari. Bumi mempunyai jizim seberat 59,760 juta dengan luas permukaan 510 juta km persegi. Ketumpatan bumi pada 5,500 kilogram setiap meter persegi digunakan sebagai unit perbandingan ketumpatan berbanding planet yang lain.




Manusia dan pendidikan

Manusia dan pendidikan

Di Ajukan Untuk Memenuhi Tugas 
Mata Kuliah Ilmu Pendidikan Yang Dibina Oleh MOHAMMAD KOSIM


Disusun oleh :

SYAMSUL HADI


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
(STAIN)
PAMEKASAN 2007/2008

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur hanyalah untuk Allah SWT. Tuhan yang maha Esa, pengasih yang ampunan-Nya tidak pilih kasih Tuhan maha pengampun yang ampunannya tak terhimpun. Dialah yang memberikan nikmat tak terhingga, karena atas segala nikmatnya dan izin-Nyalah makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.
Akhirnya segala urusan kita kembalikan kepada Allah, mohon maaf atas segala kesalahan dan kesejahteraan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pada pembaca dan semoga menjadi tambahan ilmu bagi kita semua. Amin ya Rabbal Alamin.



Penulis 


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sudahkah anda mempunyai tujuan yang jelas di dalam kehidupan anda? Pertanyaan ini tentunya dapat dijawab berbeda-beda oleh masing-masing kita. Anda masing-masing akan menemukan jawabannya setalah anda menggeluti dan juga merenungi kehidupan ini. Apakah hidup itu? Hidup adalah suatu pertumbuhan, baik secaar fisis-jasmaniah maupun secara psikis-rohaniah. Hidup itu sendiri penuh dengan tantangan dan bahkan juga rintangan. Tantangan harus dihadapi, sedangkan rintangan harus diatasi agar kehidupan kita mengarah kepada kondisi yang lebih baik.
Bagaimanakah kehidupan anda? Apakah kehidupan yang seperti anda alalmi sekarang akan anda pertahankan, ataukah anda ingin memajukannya untuk mencapai taraf kehidupan yang lebih maju dan lebih sukses?seandainya anda ingin mencapai kemajuan dan keberasilan dalam hidup, sudahkah anda mengenali fakta tentang kehidupan pribadi anda, kehidupan keluarga anda, dan kehidupan masyarakat anda? Seandainya anda sudah mengenalinya, hal-hal apakah yang seharusnya anda miliki dan anda perbuat untuk mencapai kehidupan yang maju dan berhasil?
Makalah ini dapat membantu anda di dalam menghadapi kenyataan hidup yang penuh dengan masalah dan sekaligus memberikan sedikit petunjuk untuk mengatasi berbagai permasalahan hidup itu sehingga anda mencapai kehidupan yang lebih maju dan lebih berhasil. Untuk mencapai kemajuan hidup, manusia harus belajar,dan agar kehidupan manusia mencapai keberhasilan, seorang harus bekerja dan berkreasi.
Hal bekerja dan berkreasi seseorang perlu ditunjang dengan pendidikan dan ekonomi yang mantap. Antara pendidikan dan ekonomi terdapat kaitan yang erat, dan bahwa keduanya tak dapat dipisahkan karena keduanya saling memajukan dan saling mendukung. Buku ini berusaha membuka tabir rahasia interlasi daripada dunia pendidikan dan dunia ekonomi bagi masyarakat bangsa kita, dan disamping itu makalah ini berusaha untuk mengangkat martabat dan kehidupan bangsa ke taraf yang lebih tinggi, lebih maju dan sejahtera.
Dalalm makalah ini diuraikan tentang pendidikan dan pentingnya pendidikan bagi kehidupan manusia baik bagi individu, keluarga, das masyarakat. Tidak dapat disangkal lagi. Bahwa pada saat ini banyak orang yang ingin hidup maju dan berhasil dengan menumpukkan sepenuhnya harapan mereka pada sekolah-sekolah, baik dikalangan orang tua maupun dikalangan generasi muda mempunyai harapan yang besar agar melalui sekolah akan diperoleh nasib yang baik. Agar dengan belajar di sekolah-sekolah yang tingkatannya lebih tinggi meraka akan mencapai kemajuan dan kesuksesan dalam hidup.
Akhirnya kami berharap semuga makalah ini dapat memberikan sedikit sumbangan bagi pribadi-pribadi, keluarga-keluarga, sekolah-sekolah, masyarakat dan negara kita dalam rangka mewujudkan kehidupan bangsa yang lebih maju dan sejahtera.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Hakikat Manusia
Apakah manusia itu?apakah beda antara manusia dan binatang? Hal-hal apakah secara hakiki yang menggerakkan manusia sebagaimana adanya. Pertanyaan tersebut perlu dicari jawabannya dalam rangka mengetahui hakikat manusia.
Terdapat pandangan perbedaan tentang manusia, antara lain pandangan psikoanalitik tradisional (dalam hansen,stevic dan warner, 1977) bahwa manusia pada dasarnya digerakkan oleh dorongan dari dalam dirinya yang bersifat instingtif. Tingkah laku individu ditentukan dan dikontrol oleh kekuatan psikologis yang sejak semula sudah ada pada diri individu itu.
Freud mengemukakan bahwa struktur kepribadian individu terdiri dari tiga komponen yaitu yang disebut id,ego, dan super ego. Id mendasari berbagai insting manusia yang mendasari perkembangannya. Dua insting yang paling penting ialah insting seksual dan insting agresi. Insting-insting ini menggerakkan manusia untuk hidup dalam dunianya dengan prinsip pemuasan diri. Kaum neo-analis mengakui adanya komponen id, ego, dan super ego,namun lebih menekankan pentingnya ego sebagai pusat kepribadian. Ego tidak dipandang sebagai pungsi pengarah perwujudan id saja, melainkan sebagai fungsi pokok yang bersifat rasional dan bertanggung jawab atas tingkah laku intelektual dan individu.
Selanjutnya pandangan humanis (Rogersl, 1961) bahwa pribadi individu merupakan proses yang terus berjalan, suatu kekuatan yang tidak statis. Artinya individu merupakan satu kesatuan potensi yang terus berubah. Manusia pada hakikatnya dalam proses menjadi-on becoming- tidak pernah selesai, tidak pernah wa manusia tidak semata-semata digerakkan oleh dorongan memuaskan dirinya sendiri, namun sebaliknya, manusia digerakkan dalam hidupnya sebagian oleh tanggung jawag sosial dan sebagian oleh kebutuhan untuk mencapai sesuatu.selanjutnya Adler menytakan bahwa individu melibatkan dirinya dalam usaha meujudkan diri sendiri dalam membantu orang lain, dan dalam membuat dunia ini menjadi lebih baik untuk ditempati.
Pandangan lain datang dari kaum behavioristik (dalam hansen 1977) pada dasarnya menganggap bahwa manusia sepenuhnya adalah mahluk reaktif yang perilakunya dikontrol oleh faktor-faktor yang datang dari luar. Disini lingkungan menjadi faktor penentu tunggal terhadap tingkah laku manusia. Dengan kata lain kepribadian manusia dapat dikembalikan semata-semata kepada hubungan antara individu dengan lingkungannya, hubungan itu diatur oleh hukum-hukum belajar seperti pembiasaan (conditioning). Masih kaum behavior yang skiner (1976)menyatakan bahwa kemampuan memilih, menetapkan tujuan, terwujud sebagai tingkah laku yang perkembangannya dapat didekati dan dianalisis secara ilmiah. Karena itu ada yang mengatakan bahwa pendekatan behavioristik merupakan pendekatan ilmiah. Semua ciri yang dimiliki manusia harus dapat didekati dan dianalisis secara ilmiah.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia, adalah:
a) Pada dasarnya memiliki tenaga dalam yang menggerakkan hidupnya untuk memenuhi kebutuhan.
b) Terdapat fungsi yang rasional, bertanggung jawab atas tingkah laku intelektual dan sosial.
c) Mampu mengarahkan diri ketujuan yang positif, mampu mengatur, mengontrol diri, dan menentukan nasipnya,
d) Pada hakikatnya dalam proses berkembang dan tidak pernah selesai,
e) Melibatkan diri untuk kepentingan dirinya, dan orang lain,
f) Mempunyai potensi yang perwujudannya sering takterduga, dan potensi itu terbatas.
Dengan mengenali berbagai macam ragam variabel yang mempengaruhi perilaku manusia, baik yang bersumber dari variabel individu, variabel lingkungan atau organisasional, menghasilkan perilaku yang berbeda. Hal ini membawa implikasi terhadap praktek manajerial yang efektif untuk mengakui perbedaan perilaku individu diakui, dan mungkin dipertimbangkan ketika melakukan pekerjaan atau tugas. Didalam teori pemuasan kebutuhan, dikaji tentang faktor-faktor yang ada di dalam diri individu yang menyebabkan mereka melakukan tindakan tertentu. Kebutuhan yang mereka ingin penuhi. Semua itu hendaknya dipahami oleh setiap pemimpin.

B. Faktor-faktor pendidikan
1. Definisi pendidikan
Walaupun telah sama-sama mengarah pada satu tujuan tertentu,para ahli masih belum seragam dalam mendifinisikan istilah pendidikan. Driyarkara (1980) mengatakan bahwa pendidikan adalah memanusiakan manusia muda. Pengangkatan manusia muda ketaraf mendidik. Dalam dictionary of education dinyatakan bahwa pendidikan adalah:
a) Proses seorang mengembangkan kemampuan, sikap dan tingkah laku lainnya di dalam masyarakat tempat mereka hidup,
b) Proses sosial yang terjadi pada orang yang dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah ), sehingga mereka dapat memperoleh perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individu yang optimum. Dengan kata lain pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan atas individu untuk individu untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang sifatnya permanen dalam tingkah laku,fikiran, dan sikapnya. Pengertian lain dikemukakan oleh crow and crow(1960) modern educational theory and practise not onli are aimed at preparation for future living but also operative in diterminig the patern of present, day by day attitude and behavior. Pendidikan tidak hanya dipandang sebagai sarana untuk persiapan hidup yang akan datang, tetapi juga untuk kehidupan sekarang yang dialami individu dalam perkembangannya menuju ketingkat kedewasaan.berdasarkan pengertian tersebut dapat diidentifikasikan beberapa ciri pendidikan, antara lain,yaitu:
a. pendidikan mengandung tujuan, yaitu kemampuan untuk berkembang sehingga bermamfaat untuk kepentingan hidup.
b. Untuk mencapai tujuan itu, pendidikan melakukan usaha yang terencana dalam memilih isi(matri),strategi, dan teknik penilaiannya yang sesuai.
c. Kegiatan pendidikan dilakukan dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat(formal dan non formal).
Apabila dikaitkan dengan keberadaan dan hakikat manusia, kemanakah pendidikan itu diarahkan? Jawabannya untuk pembentuk kepribadian manusia, yaitu mengembangkan manusia sebagai mahluk individu, mahluk sosial, dan mahluk beragama(religius)

2. tujuan pendidikan
Setiap usaha perubahan dan pembaruan pendidikan baru akan mencapai tujuan, apabila tujuan itu sendiri dimengerti dengan jelas oleh para pemikir dan pelaksana pendidikan. Banyak usaha pembaruan yang menjadi bias dan mengakibatkan kebincangan-kebincangan dalam penyelenggaraan pendidikan adalah bukan semata-semata disebabkan oleh faktor biaya, sarana metode, kompetensi ataupun materi pendidikan saja, akan tetapi disebabkan oleh faktor tujuan pendidikan yang kurang relevan dengan kebutuhan anak dan masyarakat. Meskipun tujuan pendidikan sendiri sebetulnya sudah relevan dengan kebutuhan anak dan masyarakat, masih ada kemungkinan terjadi kepincangan pendidikan karena para pemikir dan pelaksana pendidikan belum memahami secara jelas akan tujuan pendidikan mereka.
Masyarakat dan bangsa indonesia sekarang sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan. Pembangunan bukan hanya ditentukan oleh faktor perencanaan, sarana dan biaya saja, melainkan pembangunan membutuhkan pendidikan bagi pelaksana pembangunan. Pelaksana pembangunan membutuhkan pengalaman berupa ilmu pengetahuan, keterampilan serta sikap yang memadai sebagai bekal untuk menghadapi dan mengatasi berbagai permasalahan hidup masyarakat. Oleh karena itu pendidikan menjadi tumpuan harapan masyarakat guna malestarikan dan memajukan masyarakat dan pribadi.
Perubahan kualitas kehidupan manusia memperbanyak tuntutan masyarakat ke arah perubahan pendidikan, baik secara kuantatif maupun kualitatif. Dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan, masyarakat menuntut adanya perubahan-perubahan dalam sistem pendidikan. Tidak ayal hal itu berakibat adanya perubahan pula terhadap tujuan-tujuan pendidikan. Dengan demikian tujuan pendidikan dapat terumus mengikuti aspirasi dan kondisi masyarakat pada masa-masa tertentu. Aspirasi masyarakat tentang tujuan pendidikan tentunya juga ditentukan oleh konsepsi masyarakat itu tentang pendidikan.
Tujuan-tujuan pendidikan dalam masyarakat berorientasi kepada tujuan pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional bertolak dari pandangan hidup bangsa. Bagi bangsa indonesia, tujuan pendidikan dijiwai oleh pancasila sebagai falsafah negara dan pandangan hidup bangsa indonesia. Tujuan pendidikan nasional terumus di dalam garis-garis besar Haluan Negara (G.B.H.N) rebublik indonesia. Menurut G. B. H. N tahun 1983, tujuan pendidikan nasional indonesia terumus sebagai berikut:
Pendidikan nasional berdasarkan panca sila, bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan terhadap tuhan Yang Maha Esa,kecerdasan dan keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.(Ghalia indonesia, GBHN 1983 :90-91)
Dari rumusan pendidikan di atas, pendidikan dimaksudkan untuk menumbuhkan manusia pembangunan, baik pembangunan diri maupun pembangunan bangsa. Untuk menumbuhkan manusia-manusia pembangunan itu, pendidikan harus mampu memberikan pengalaman-pengalaman yang menunjang pembangunan.
Agar pendidikan dapat mewujudkan cita-cita tersebut, macam pendidikan apakah yang dibutuhkan? Uraian pada bab selanjutnya dalam makalah ini kiranya dapat memberikan alternatif jawaban atas pertanyaan ini. Yang jelas, untuk membentuk manusia pancasilais yang mampu membangun diri sendiri dan membangun bangsa tidak cukup hanya dengan pendidikan intelektual karena penekanan pendidikan intelektual dapat cendrung menumbuhkan manusia intelektualistis yang belum tentu mau dan mampu membangun diri dan bangsa, yang sejahtera lahir dan batin. Pendidikan juga tidak cukup hanya menekankan pendidikan moral karana hal itu cendrung menumbuhkan manusia muralis yang belum tentu mau dan mampu membangun diri dan bangsa yang sejahtera lahir dan batin.
Pendidikan juga tidak cukup hanya menekankan pemberian latihan-latihan keterampilan dan jasmani saja, karena hal itu dapat menumbuhkan manusian-manusia trampil dan sehat sehat lahiriah yang belum tentu mau dan mampu membangun diri dan bangsa yang sejahtera lahir dan batin.
Usaha membentuk manusia panca sila yang mampu membangun diri dan bangsa yang sejahtera lahir dan batin memerlukan :
1. Pendidikan moral spritual; agar manusia memiliki akhlak yang tinggi sehingga dapat mengasihi pencipta dan sesama manusia, serta memiliki rohani yang sehat.
2. Pendidikan sosial dan patreotisme; agar manusia mampu membangun tanggung jawab dalam kehidupan bersama dalam kehidupan bernegara.
3. Pendidikan intelektual; agar manusia memiliki kecerdasan yang menjadi bekal untuk mengatasi berbagai permasalahan kehidupan pribadi dan bangsa.
4. Pendidikan keterampilan; agar manusia mampu merealisir setiap rencana dan pemikiran, baik dari diri sendiri maupun dari orang lain.
5. Pendidikan jasmani; agar manusia memiliki jasmani yang kuat, sehingga dapat belajar dan bekerja secara efektif.
6. Pendidikan jasmani; agar manusia memiliki jasmani yang kuat, sehingga dapat belajar dan bekerja secara efektif.
Mengenai kelima macam pendidikan tersebut di atas telah mendapat perhatian yang cukup besar dari kalangan para tokoh dan pelaksana pendidikan sejak empat abad yang lalu ketika John Locke mulai mempublikasikan teorinya tentang pendidikan. Ketika itu John Locke lebih menekankan perlunya penyelenggaraan tiga jenis pendidikan untuk mencapai tujuan akhir pendidikan, yaitu : 1) pendidikan jasmani, 2) pendidikan moral, dan 3) pendidikan intelektual. Tujuan akhir pendidikan menutut John Locke ialah terujudnya kesejahteraan bangsa.
Dalam policy dan pelaksanaan pendidikan kita, kelima jenis pendidikan tersebut di atas telah mendapat pemikiran cukup serius, dan bahkan telah digarap dalam proses pembalajaran pendidikan indonesia. Sehubungan itu kitapun telah mengamati dan menikmati hasil-hasil yang nyata dari pembangunan di bidang pendidikan dewasa ini.
Apbila kita mengamati serta merenungi situasi pendidikan secara makro atau umum di dalam masyarakat kita, barangkali kita masih mendapat kekurangan-kekurangan mengenai hasil pendidikan kita. Di sana sini masih dapat kita jumpai adanya pengangguran, baik kentara maupun tidak kentara, baik pada kalangan awam maupu pada kalangan intelektual sendiri. Bagaimana kita mempersiapkan manusia-manusia pembangunan, sedangkan banyak hasil-hasil atau tamatan pendidikan kita yang tidak bekerja atau menganggur?
Sehubungan dengan masalah itu, kami masih melihat adanya kekurangan dalam hal pembangunan kita. Untuk menumbuhkan manusia-manusia penbangunan, masih diperlukan suatu jenis pendidikan yang lain lagi dari yang telah disebutkan di atas,yaitu "pendidikan wiraswasta".pendidikan wiraswasta bagi generasi muda kita sangat perlu untuk diberikan.pendidikan wiraswasta ini lebih menekankan segi pembinaan sikap mental untuk berjuang dan berkarya, baik segi kesejahteraan diri, keluarga, masyarakat dan bangsa.

3. arah pendidikan
Pendidikan berusaha mengembangkan potensi individu agar mampu berdiri sendiri. Untuk itu individu perlu diberikan berbagai kemampuan dalam pengembangan berbagai hal, seperti; konsep, prinsip, kreativitas, tanggung jawab dan keterampilan. Dengan kata lain perlu mengalami perkembangan dalam aspek kognitif, dan psikomotor. Demikian pula individu juga mahluk sosial yang selalu berinteraksi dengan lingkungan sesamanya. Objek sosial ini akan berpengaruh terhadap perkembangan individu. Melalui pendidikan dapat dikembangkan suatu keadaan yang seimbang antara perkembangan aspek individual dan aspek sosial. Aspek lain yang dikembangkan adalah kehidupan susila. Hanya manusialah yang dapat menghayati norma-norma dan nilai-nilai dalam kehidupannya, sehingga manusia dapat menetapkan tingkah laku mana yang baik dan tingkah laku mana yang tidak baik dan tidak bersifat susila. Aspek lain adalah kehidupan religius dalam hubungannya dengan tuhan yang maha Esa dapat menghayati dan mengamalkan ajarannya sesuai dengan agamanya. Semua itu dapat terujud melalui pendidikan.

3. pendidikan sebagai suatu sistem
Pendidikan merupakan kegiatan yang kompleks, meliputi berbagai komponen yang berkaitan satu sama lain. Jika pendidikan ingin dilaksanakan secara terencana dan teratur, maka berbagai elmen yang terlibat dalam kegiatan pendidikan perlu dikenali. Untuk itu diperlukan pengkajian usaha pendidikan sebagai suatu sistem. Pengertian tentang sistem oleh ryans (1968) didifinisikan sebagai "any identifiable assemblage of elment (object, persons, activities, imformation records,etc.)wich are interrelated by proces or structure and wich are presumde to fungtion as an organizational entity generating an observable (or sometimes merely inferable) product".
Berpijak pada difinisi di atas dapat diidentifikasi bahwa sistem mengandung; elmen yang saling berkaitan, merupakan satu kesatuan. Kesatuan itu berfungsi mencapai tujuan, membuahkan hasil yang dapat diamati/dikenali. Pandangan pendidikan sebagai suatu sistem itu dapat dilihat secara mikro dan makro. Secara mikro pendidikan dapat dilihat dari hubungan elemen peserta didik,pendidik, dan interaksi keduanya dalam usaha pendidikan. Sedangkan secara makro menjangkau elemen-elemen yang lebih luas.

1. Fakta-fakta Pendidikan Yang Menuntut Pemikiran Pendidikan
a. Mningkatnya kebutuhan manusia
Kebutuhan hidup manusia meningkat sering dengan perubahan dan perkembangan pola kehidupan masyarakatnya. Pada mualanya, manusia hidup dalam masyarakat yang berpola hidup sederhana. Masyarakat pada mulanya hidup secara natural. Masyarakat ini mengantungkan kehidupannya pada kekuatan alami yang tersedia dalam diri manusia serta memamfaatkan apa yang telah ada di alam sekitar mereka. Pada saat itu, kebutuhan manusia masih sangat sederhana.
Masyarakat primitif yang berpola hidup sangat sederhan, terutama hanya berfungsi ekonomis. Mereka belum membutuhkan ideologi, politik, hukum, ataupun pemerintahan. Manusia mempertahankan hidup mereka secara kompotitif, baik secara individual ataupun secara kelompok . manusia dalam masyarakat primitif baru kebutuhan ekonomi yang sederhana terutama berupa kebutuhan dasar yang bersifat jasmaniah, yaitu :
1. Makan, minum dan pakaian.
2. Kebutuhan akan tempat tinggal.
3. Kebutuhan akan istirahat.
Semua kebutuhan diatas masih dapat mereka penuhi dari alam.manusia tinggal bergantung kepada keadaan alam sekitarnya.
Dengan meningkatnya pengenalan manusia tentang alam sekitar, bertambahnya penghuni alam, menipisnya persediaan bahan kebutuhan manusia, serta timbulnya berbagai hambatan dan gangguan dalam hidup, maka masyarakat mulai menyadari adanya rasa tidak aman. Manusia mulai mencari upaya untuk mengatasi permasalahan hidup yang menimbulkan rasa tidak aman itu. Mereka memerlukan kehidupan bermasyarakat dengan menggunakan podoman atau aturan tertentu. Dari keadaan itu maka masyakat memerlukan pamerintahan, hukum, kemiliteran/pengamanan fisik, dan juga politik. ,maka pola kehidupan manusia semakin kompliks. Manusia semakin menyadari kekurangan serta kelemahan yang terdapat pada diri mereka. Mereka menjadi saling memerlukan untuk bekerja sama untuk mengatasi kesulitan hidup mereka. Dengan perkembangan pola kehidupan ini, maka kebutuhan manusia meningkat, antara lain meliputi :
1. Kebutuhan fisik/jasmaniah, misalnya:makan, minum,pakaian,rumah/tempat tinggal, dan istirahat
2. Kebutuhan psikis/rohaniah. Misalnya:rasa aman, harga diri, dan penghiburan.
3. Kebutuhan sosial, misalnya:kasih sayang dari sesama manusia, persahabatan, dan pengakuan orang lain.
Tidak semua kebutuhan hidup tersebut dapat terpenuhi secara alami. Manusia harus menggunakan kekuatan –kekuatan jiwanya untuk mengatasi rasa tidak aman serta untuk mengatasi kesulitan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup yang semakin meningkat itu. Manusia harus berbudaya, kreatif dan produktif. Untuk itu semua, manusia harus banyak belajar. Dalam usaha membelajarkan manusia, maka pendidikan menjadi kebutuhan masyarakat. Pendidikan diberikan kepada para anggota masyarakat, sehingga mereka dapat lebih mengenal alam sekitarnya serta dapat menaklukkannya.
Akibat dari pada bertambahnya pengalaman, meningkatnya pendidikan, serta meluasnya pergaulan hidup manusia, manusia menjadi semakin kreatif. Dibalik krearivitas manusia itu, maka pola kehidupan manusia semakin kompleks. Mereka menciptakan teknologi dan peralatan modern demi kemudahan hidup manusia. Kita dapat membayangkan betapa semakin repotnya usaha hidup manusia karena dalam pola kehidupan yang semakin kompleks itu, manusia mencari kemudahan dalam hidup. Untuk memperoleh kemudahan tersebut, pada mulanya manusia masih dapat bergantung kepada orang/pihak lain.dengan semakin beratnya tantangan hidup setiap manusia, maka dengan menggunakan potensi yang ada pada masing-masing individu, maka mereka diharapkan berusaha mengurangi ketergantungan mereka pada orang lain atau pihak lain.

b. Melajunya pertumbuhan penduduk.
Jumlah penduduk semakin meningkat. Dengan adanya kemajuan pengetahuan geniatrik, ternyata dapat meningkatkan sentase jumlah penduduk usia tua. Dilain pihak, meningkatnya kelahiran bayi menjadi faktor utama terhadap laju pertumbuhan penduduk. Disamping itu perbaikan kesejahteraan anak-anak,pemeliharaan medis bagi kaum muda serta banyaknya perkawinan anak muda belia mempercepat laju pertumbuhan penduduk.keadaan diatas masih ditambah lagi dengan ditunjang oleh perbaikan gizi dan standar hidup masyarakat.
Lajunya pertumbuhan jumlah penduduk telah menimbulkan banyak permasalahan.bertambahnya jumlah anggota pada keluarga. Keluarga menambah beban sosial ekonomi masing-masing kelurga itu. Meningkatnya jumlah kelahiran menuntut beban pendidikan kuantitatif bagi keluarga dan masyarakat dimasa mendatang. Dalam usaha memenuhi kebutuhan hidup penduduk usia muda dan usia tua menuntut pelayanan pendidikan kualitatif bagi masing-masing individu sebagai anggota keluarga dan anggoto masyarakat. Pendidikan kualitatif diperlukan untuk melatih potensi individual sehingga setiap orang dapat memecahkan permasalahan hidup pribadi dan keluarga.

c. bertambahnya pola-pola kehidupan manusia.
Perubahan-perubahan kebutuhan hidup, ekonomi,kependudukan dan pekerjaan manusia terwujud didalam pola-pola kehidupan manusia. Pekerjaan yang tadinya terlaksana dirumah-rumah, kemudian berpindah kekantor-kantor. Perusahaan-perusahaan, toko-toko, dan pelayan –pelayan niaga. Mula-mula kelarga senantiasa dapat berkumpul bersama-sama orang tua mempunyai peranan penting dalam mempersiapkan anak-anak menjadi para pekerja untuk dapat bekerja. Selanjutnya para orang tua semakin sibuk mencari pekerjaan dan bekerja diluar rumah. Akibat kesibukan para orang tua tersebut, maka mereka semakin tidak berkesempatan bekerja ataupun berkreasi bersama keluarga masing-masing.
Pertumbuhan ekonomi ternyata diikuti dengan pertumbuhan berbagai kelompok pekerja, kelompok jabatan, baik yang bersifat formal ataupun imformal. Kelompok imformal dalam masyarakat sulit untuk diidentifikasi, minat para anggota masing-masing kelompok lebih bersifat homogen, sedangkan hubungan mereka lebih bersifat pribadi dan kekeluargaan. Mereka inipun mempunyai andil dan peranan penting dalam memajukan masyarakat.
Pertumbuhan penduduk juga membentuk pola-pola kehidupan manusia. Letak geografis penduduk serta kepadatan jumlah penduduk mengubah fungsi dan peranan-peranan manusia. Perubahan peranan manusia tersebut ikut menentukan peranan institusil-institusi sosial, termasuk didalam sekolah dan keluarga-keluarga.

2. Berubahnya Dunia Pekerjaan Manusia.
Pada mulanya dunia pekerajaan menggunakan tenaga kerja manusia pada barbagai jenis dan tingkat pekerjaan. Pada saat itu manusia tidak banyak mengalami kesuliltan didalam usaha mendapatkan pekerjaan. Bahkan lapangan kerja mengalami kesulitan dalam usaha memperoleh tenaga kerja. Dengan adanya berbagai macam kesulitan serta alasan-alasan ekonomis, maka para penguasa lapangan kerja kemudia cendrung berfikir ekonomis. Terdorong oleh pemikiran ekonomis tersebut. Manusia mulai menggunakan tenaga mesin dan perlengkapan modern. Dalam hal ini peranan manusia adalah menjaga dan mengawasi kerja mesin atau perlengkapan modern tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya, manusia menggunakan perlengkapan komputer yang serba elektronis dan otomatis. Hal ini membuka jalan baru bagi prestasi manusia serta kepegawaian.usaha-usaha produksi serta usaha-usaha pemecahan masalah dapat berlangsung secara hemat dan cepat.
Dengan penggunaan tenaga mesin dan peralatan modern diberbagai bidang usaha, maka lapangan kerja semakin menyempit. Lapangan kerja yang menggunakan tenaga manusia semakin hari semakin terbatas pada bidang-bidang jasa dan pelayanan sosial. Lapangan kerja pada bidang-bidang produksi semakin memperkecil kemungkinan penampungan tenaga kerja manusia. Semakin menyempitnya lapangan pekerjaan manusia dibarengi lagi tuntutan-tuntutan baru bagi para pekerja dan pejabat bidang usaha jasa.spesialisasi dalam propesi-propesipun bertambah terus dan manusia semakin membutuhkan persiapan karir untuk memigang jabatan-jabatan.
Keadaan diatas telah mengurangi kesempatan kerja bagi manusia. Kondisi lapangan kerja tersebut berpengaruh besar terhadap kemungkinan bertambahnya jumlah pengangguran. Siapakah yang terus mampu mengatasi pengangguran yang semakin meningkat? Memang masalah ini menjadi beban bagi keluarga-keluarga, masyarakat, sekolah, dan pemerintah. Meskipun demikian,dengan jalan apakah mereka dapat mengatasi dan membendung jumlah para penganggur ini? Salah satu jawaban terhadap masalah ini perlu pemikiran kearah perawujudan peranan yang lebih efektif daripada institusi-institusi tersebut dalam rangka membangun manusia wiraswasta. Mereka hendaknya mencari jalan keluar untuk bukan saja mengatasi pengangguran yang sudah ada dikalangan orang dewasa dan remaja, melainkan yang terlebih penting adalah menghindari atau mencegah bertumbuhnya manusia-manusia pengangguran. Kita hendaknya berusaha setidak-tidaknya memperkecil jumlah pengangguran didalam masyarakat kita pada masa mendatang.
Renungkan apa yang telah diuraikan diatas, lapangan pekerjaan manusia semakin menyempit, sedangkan jumlah manusia yang ingin mengisi lapangan pekerjaan semakin meningkat.
Barangkali kita berfikir lebih baik lapangan pekerjaan saja yang diusahakan yang diperluas. Hal ini memang tidak salah, karena masyarakat membutuhkan pembangunan dengan munculnya berbagai proyek pembangunan. Suatu hal yang tidak boleh kita lupakan adalah, bahwa perluasan lapangan kerja itu perlu dibarengi dengan penyiapan manusia-manusia pengisi lapangan kerja baru, penyiapan manusia-manusia produktif yang dapat menciptakan sendiri lapangan kerja bagi diri sendiri atau orang lain.

3. Tantangan dalam Pertumbuhan Ekonomi.
Perubahan dunia pekerjaan manusia ternyata dibarengi oleh pertumbuhan ekonomi.pendapatan perkapita dan ”gross national product" dari tahun ke tahun cendrung mengalami peningkatan. Dengan adanya penemuan teknologi serta cara kerja baru, maka kapasitas kita untuk memproduksi barang kebutuhan manusia semakin hari semakin meningkat. Untuk keperluan usaha produksi, tenaga kerja di lapangan selalu tersedia dan tercukupi. Standar hidup masyarakat kita terus naik secara berangsur-angsur. Penghasilan para pekerja semakin banyak jika dibandingkan dengan para pekerja pada waktu-waktu sebelumnya.
eknologi modern menunjang pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomipun menunjang pertumbuhan teknologi modern. Teknologi modern membuat kehidupan manusia semakin tertolong mereka hidup semakin mudah dan menyenangkan jika dibandingkan dengan kehidupan manusia pada waktu-waktu sebelumnya. Kondisi semacam ini memungkinkan manusia memperoleh standar hidup yang semakin baik. Tingkat-tingkat pengeluaran manusia membantu pertumbuhan ekonomi.
m eningkatnya standat hidup manusia dapat meningkatkatkan prestasi dan usaha belajar manusia. Perkembangan pribadi dan pribadi banyak tergantung kepada pendidikan serta usaha-usaha belajarnya. Cara belajar yang bagaimana agar manusia dapat mengembangkan segenap potensi pribadinya, hal ini merupakan tantangan baru bagi dunia pendidikan kita type belajar yang diperlukan untuk mengembangkan potensi pribadi manusia, tentunya berbeda dengan type belajar yang diperlukan bagi pengisian dunia pekerjaan.
Di lain pihak, penemuan teknologi modern dan meningkatnya standar hidup manusia dapat meningkatkan kelengahan dalam hidup sehari-sehari. Akibat penghasilan yang cukup, banyak orang tua yang cendrung meningkatkan pemenuhan kebutuhan konsumtif dalam pemenuhan kebutuhan mereka masing-masing. Mereka menjadi lengah, kurang kesadaran akan tantangan kehidupan di hari esok yang semakin menekan. Mereka yang berpendapatan berlebihan cendrung berlomba-lomba memperbanyak pengeluaran-pengeluaran untuk konsumsi. Mereka kurang mempersiapkan diri dan para anggota keluarganya untuk menghadapi masalah hidup hari esok. Para orang tua kurang mempersiapkan para anak-anak mudanya untuk ikut belajar mengatasi masalah hidup keluarganya.
Meningkatkan penghasilan dan standar hidup orang tua dapat menumbuhkan sikap masa bodoh serta kelengahan pada anak-anak muda mereka. Banyak pemuda dari keluarga berada yang merasa setiap kebutuhan mereka dapat terpenuhi oleh keberadaan orang tua menjadi bersifat tergantung dan kurang produktif. Karena orang tua tidak merasa perlu untuk mempersiapkan mental anak-anak dengan berbagai macam latihan di rumah, maka banyak pemuda yang lebih suka menganggur dan bergaya hidup konsumtif. Keadaan ini menunjang kondisi pertumbuhan pengangguran di dalam masyarakat kita.
Satu hal yang lebih gawat yaitu, akibat pergaulan dan perubahan pola interaksi hidup manusia, maka gaya hidup seperti yang dikemukakan diatas ditiru oleh kalangan –kalangan keluarga kurang mampu. Terdorong oleh keinginan untuk dapat hidup seperti orang lain, banyak orang tua dari kalangan kurang mampu memaksakan diri untuk bergaya hidup mewah di luar kemampuannya. Akibatnya keluarga itu semakin hari semakin gelisah. Mereka memaksakan diri untuk bekerja sana-sini di bawah kekuasan orang lain dengan pendapatan yang ralatif kurang memadai. Hal ini masih mendingan, sebab keadaan yang realistis ditempuh melalui usaha-usaha kerja nyata. Setidak-tidaknya dapat kemungkinan, bahwa keluarga seperti itu akan memperoleh pengalaman dan motivasi untuk bekerja dan berusaha lebih keras. Keadaan yang dramatis sering terbentuk bila mana orang-orang berusaha bergaya hidup mewah melalui utang-utang sana-sini yang semakin menumpuk di luar kemampuannya untuk membayarnya. Orang tersebut dapat saja mengurangi atau menjual secara berangsur-angsur apa yang dimilikinya.
Dari sedikit uraian diatas, kita dapat merenungkan keluhan sementara masyarakat mengenai mengapa yang kaya makin kaya sedangkan yang miskin semakin miskin. Itulah konsekuensi dari pada pertumbuhan ekonomi, yang disamping itu juga kurangnya persiapan manusia untuk menumbuhkan perekonomian keluarga. Dengan demikian masalah penganguran menjadi tantangan dalam pertumbuhan ekonomi. Salah satu jawaban atas tantangan diatas yaitu dengan perwujudan manusia-manusia wiraswasta. ,mengenai peujudan manusia wiraswasta itu sendiri merupakan tantangan bagi pendidikan kita.

4. Menipisnya Sumber Ekonomi Masyarakat Pedesaan
masyarakat pedesaan merupakan potensi yang amat penting bagi pertumbuhan ekonomi bangsa pada pada umumnya. Di negeri kita,sebagian penduduknya tinggal di desa-desa. Faktor-faktor ekonomi yang penting terdapat di pendesaan. Faktor-faktor itu antara lain meliputi: tanah, tenaga kerja, flora, dan fauna. Dari keempat faktor yang disebutkan itu merupakan sumber perekonomian masyarakat yang utama adalah tanah dan tenaga kerja, kedua sumber terpakai untuk usaha pertanian atau peternakan. Inilah sumber kehidupan dari sebagian besar masyarakat indonesia. Pada mulanya sumber ekonomi masyarakat cukup memenuhi kebutuhan hidup masyarakat pedesaan bahkan masyarakat perkotaan.
Dengan pesatnya pertambahan jumlah penduduk, majunya perkembangan industri serta statisnya cara berfikir dan cara kerja masyarakat pedesaan pada umumnya, maka sumber-sumber ekonomi masyarakat pedesaan kurang berkembang dan bahkan justru semakin berkurang. Penduduk terus bertambah. Luas tanah garapan masing-masing orang semakin sempit akibat terbaginya areal pekarangan dan pertanian pada generasi muda penduduk yang jumlahnya semakin meningkat. Majunya perkembangan industri juga mengakibatkan menipisnya sumber ekonomi desa. Banyak sekali areal tanah serta tenaga kerja kemudian terserap oleh industrialisasi. Banyak tanah pertanian yang terjual oleh penduduk untuk pendirian pabrik serta perusahaan hal ini mengurangi luas tanah garapan petani negeri ini. Masyarakat pedesaan yang cara berfikirnya statis, sederhana dan kurang terbuka terhadap inovasi semakin terjepit dan mengalami tekanan akibat perubahan sosial ekonomi. Sebagian mereka hanya cendrung menerima keadaan yang semakin menghimpit kehidupan mereka. Dengan daya yang masih ada dalam diri mereka, mereka tetap bertahan dalam kemiskinan. Sebagian penduduk lain berlomba-lomba meninggalkan desa mereka pergi kekota untuk mengadu nasib.
Akibat dari kenyataan di atas bukannya memperbaiki/mengembang sumber ekonomi pedesaan, tetapi justru menguranginya. Sumber ekonomi desa tidak mampu lagi untuk menampung tanaga kerja yang jumlahnya terus bertambah. Tenaga kerja mengalir menuju ke kota-kota untuk memburuh, berdagang kecil-kecilan, menaksi, menarik becak dll. Mereka yang tidak mau menyesuaikan diri dengan kenyataan terpaksa melakukan pekerjaan yang kurang terpuji misalnya mengemis, menipu, menudong dll.sungguh keadaan ini kurang menguntungkan bagi perkembangan sosial ekonomi bangsa. Desa menjadi sunyi ditinggalkan oleh para remaja serta para orang tua yang sebenarnya masih produktif untuk bekerja di pedesaan.kebanyakan mereka yang urbanisasi di kota-kota baru pulang kembali pada musim tanam atau musim panen di desa-desa. Bahkan banyak penduduk desa di kota-kota yang pulang kembali ke desa mereka pada masa lebaran dan tahun baru. Sesungguhnya, keadaan seperti itu hanya merugikan bangsa pada umumnya dan perekonomian masyarakat pedesaan pada khususnya.
Memang, kendatipun demikian banyak orang merasa, bahkan dengan cara hidup seperti itu toh ekonomi orang-orang desa menjadi maju bila dibandingkan ekonomi orang-orang pada puluhan tahun yang lalu. Apakah dugaan ini sepenuhnya benar? Kalau kita perhatikan sepintas lalu, nampaklah bahwa orang-orang desa saat ini banyak yang mempunyai sepeda motor, dapat membangun atau memperbaiki rumah mereka sebagai hasil jerih payah perjuangan hidup mereka di kota-kota. Tetapi kalau kita merenungkan lebih lanjut, apakah kekayaan keluarga pedesaan pada saat ini lebih banyak atau lebih bermutu bila dibandingkan dengan berbagai jenis kekayaan yang pernah dimiliki oleh keluarga pedesaan pada masa puluhan tahun yang silam? Apakah hasil jerih payah penduduk pedesaan yang bekerja di kota-kota masih bisa mempertahankan kualitas kekayaan orang tua mereka pada masa yang telah silam? Hal ini masih merupakan problematik yang memerlukan jawaban dari kita semua.
Pemerintah telah berbuat banyak untuk menjawab permasalahan di atas. Langkah-langkah positif telah diambil, dan hasinya memang cukup positif. Banyak penduduk pedesaan yang telah kehilangan sumber ekonomi di desa mereka telah di trnsmigrasi oleh pemerintah kita. Sayang kemampuan pemerintah dalam menangani transmigrasi terbatas. Pemerintah belum mampu melaksanakan transmigrasi secara lebih besar-besaran. Pemerintah juga mengalami kesulitan dalam usaha transmigrasi penduduk. Pemerintah juga telah melaksanakan pembangunan sosial ekonomi masyarakat pedesaan dan hasil-hasilnya telah dapat dirasakan. Kini para pemimpin bangsa kita telah menghimbau masyarakat untuk mengalihkan perhatian ke arah lautan. Selama ini perhatian segenap masyarakt pedesaan masih tercurah ke daratan. Semua itu merupakan usah untuk menjawab permasalahan hidup masyarakat akibat semakin menipisnya sumber-sumber ekonomi masyarakat pedesaan.
Suatu masalah penting untuk kita perhatikan adalah mengenai kualitas manusia atau tenaga kerja, terutama tenaga kerja yang berasal dari pedesaan. Untuk mensukseskan usaha-usah pemerintah seperti transmigrasi, proyek-proyek bantuan desa, bantuan presiden, padat karya, peningkatan produksi pangan, penggalian kekayaan lautan dan sebagainya, maka kualitas tenaga kerja perlu sekali untuk dipersiapkan.
Dalam hubungan itu perlu kami kemukakan tentang bagaimana kualitas tenaga kerja di pedesaan. Sejauh kenyataan dalam kesempatan kerja yang tersedia bagi orang-orang desa baik di desa sendiri maupun di kota-kota, kebanyakan tenaga kerja tersebut masih mengandalkan potensi otot atau okol dan keringat. Mereka banyak yang bekerja asal bekerja, tampa berusaha memajukan cara berfikir dan berbuat demi prestasi kehidupan tenaga kerja tersebut tidak mengalami peningkatan. Dengan kata lain, posisi sosial ekonomi orang desa tidak jauh berkisar dari kedudukannya sebagai buruh, baik buruh di kota maupun buruh di desa.
Berhubung mayoritas tenaga kerja desa mengandalkan otot dan keringat, maka mereka mamiliki posisi ekonomi yang lemah dalam segenap proses pertumbuhan ekonomi.sebagai contoh, banyak buruh perusahaan kayu/perusahaan penebangan kayu yang beroprasi di hutan-hutan kalimantan tengah, kalimantan timur,sumatra dan lain-lain di negeri kita. Ketika harga keyu dipasaran internasiaonal merosot, maka buruh penebangan kayu yang berasal dari ponorogo,trenggalek,blitar dll. Terpaksa tidak dapat melanjutkan pekerjaannya dan pulang ke kampung halamannya. Ini berarti, bahwa tenaga kerja mereka tidak laku lagi.
Semua peristiwa dan kenyataan di atas lebih banyak diakibatkan oleh keadaan semakin menipisnya sumber ekonomi pedesaan. Sesungguhnya dalam ini faktor manusia juga ikut bebicara. Kenyataan yang memprihatinkan seperti yang dikemukakan di atas sebenarnya takakan terjadi seandainya kualitas pribadi manusia yang di sebut-sebutkan terdahulu lebih tinggi dari apa yang mereka miliki pada saat ini. Kualitas pribadi yang manakah yang dimaksud itu? Untuk mencegah atau mengurangi keprihatinan hidup masyarakat pedesaan atau masyarakat ekonomi lemah perlu mempersiapkan manusia-manusia yang berpengetahuan, berketerampilan serta bersikap mental pengusaha yang produktif dan bukan hanya semata-mata berpengetahuan, berketerampilan dan bersikap mental konsumtif. Sudah waktunya kita mengurangi ataupun mencegah pertumbuhan orang-orang yang bersifat tergantunh dan konsumtif semata.


DAFTAR PUSTAKA

 Dracker, peter f, bagaimana menjadi wiraswasta yang berhasil .bandung

 Wasty soemanto Mpd . pendidikan wiraswasta ,jakarta. PT.bumi aksara, mei, 1984

 Soemanto, westy dan seotopo, hendyat, dasar dan pendidikan dunia, malang ,percetakan ,A, A,I 1982

 FATAH HANANG landasan manajemen pendidikan ,bandung, PT .remaja rosdakarya ,1-juli, 1997

 Karyatmo, soetomo, urayan lengkap metode nerkwork planing, jakarta

 Vroom, victor, h., (1960),some personality determenant of the efect of participation, new jersey: prentice hal,Inc. englewood cliffs.

 Anderson, james E, 1979. public policy making. New york: holt, rinehart and wisston.
 Adam Ibrahim, I., (1983), perilaku organisasi,Bandung: Sinar Baru.


mohon ... klo udah baca posting kami, jangan lupaaaaaaaaaaaa kasi komentar yaaa .... n saran konstruktif ....................


thanks yaa atas komentar kaliaaannnnnnnnnnnnnnn !!!!!