MAKALAH
NURCHOLIS MADJID DAN
PLURALISME AGAMA
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Islam
YangDibina Oleh Umar Bukhari
Oleh :
SYAMSUL HADI
NIM. 210 612 324
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
PAMEKASAN
(STAIN)
2006/2007
KATA PENGANTAR
Kami ucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas segala limpahan rahmat, taufiq serta hidayahnya sehingga kita mampu melaksanakan segala aktivitas rutinitas dengan penuh kesabaran dan keikhlasan.
Selanjutkan makalah ini kami persembahkan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Filsafat Islam yang membahas tentang ”Cak Nur dan Pluralisme Agama” dan kami ucapkan banyak terima kasih kepada dosen pembimbing Bapak Umar Bukhari yang membina mata kuliah Filsafat Islam.
Semoga makalah ini menjadi suatu ilmu yang bermanfaat bagi kita semua khususnya bagi kami pribadi. Dan hanya kepada Allah kami akan kembali.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latang Belakang
Dalam ranah pemikiran keislaman dan keindonesiaan, sosok Nurcholish Majid merupakan salah satu sosok paling fenominal dan legendaris sepanjang sejarah pemikiran keislaman. Dengan berbekal pengalaman dan pengetahuan yang mendalam ia mampu memproduksi ide-ide cemerlang tentang konsep-konsep dan berhasil mengkolaborasikan antara pemikiran-pemikiran konservatif dengan pemikiran-pemikian kontemporer. Dengan demikian Nurcholish Majid telah mewariskan kepada umat islam sebuah ensiklopedia pemikiran yang sangat kaya yang diramu dari berbagai peradaban umat manusia.
Namun kalau kita membincang tentang sosok Nurcholis Majid dan beberapa hasil pemikirannya banyak mengundang pro dan kontra di kalangan umat islam. khususnya konsep Pluralisme agama yang digagasnya.
Maka dari itu di dalam makalah ini saya akan membahas tentang Pluralisme Agama yang sesungguhnya ala Nurcholis Majid.
B. Rumusan Masalah
1. Biografi Nurcholis Majid
2. Plurasilme Agama
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Nurcholish Majid
Nurcholsi Majid lahir di Jombang Jawa Timu, tepatnya di sebuah kampung kecil Desa Mojoanyar tanggal 17 Maret 1939 M/26 Muharram 1358 H dari kalangan keluagra pesantren. Ayah beliau bernama H. Abd. Majid seorang alim jebolan pesantren Tebuireng dan merupakan santri kesayangan dari Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari.
Pendidikan yang ditempuh SR dan MI di Mojoanyar; Pesantren Darul ‘Ulum di Rejoso Jombang; KMI (Kulliyatul Mu’allimin al- Islamiyah) Pesantren Darus Salam di Gontor Ponorogo; IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta (Sarjana Sastra Arab, 1968) dan meraih gelar Doktor dari Universitas Chicago AS (1984) dengan disertasi : Ibn Taymiyyah on kalam and falasifa. Dikukuhkan sebagai Profesor dan Guru Besar IAIN Jakarta (1998), dan juga sebagai guru besar tamu pada Universitas McGill, Montreal, Canada 1991-1992. serta Ahli Peneliti Utama LIPI (1999). Pernah menjabat sebagai Ketum HMI dua periode (166-1971); Preseden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara pada tahun 1967-1969; Wakil Sekjen Fellow dalam Eisenhover Fellowship pada tahun 1990. Pendiri dan ketua Yayasan Wakaf Paramadina yang mengarah kepada gerakan intelektual islam di Indonesia dan Rektor Universitas Paramadina Mulya dan Dosen Pascasarjana IAIN Jakarkat.
Ia banyak menulis makalah-makalah yang diterbitkan dalam berbagai majalah, surat kabar dan buku suntingan. Buku-bukunya yang telah terbit ialah; Khazanah Intelektual Islam (Bulan Bintang, 1986), Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Mizan, 1988), Islam Doktrin dan Peradaban (Paramadina, 1992), Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan (Mizan, 1993), Pintu-Pintu Menuju Tuhan (Paramadina, 1994), Islam Agama Peradaban (Paramadina, 1997).
B. Pluralisme Agama
Lahirnya gagasan pluralisme agama merupakan sebuah refleksi dari pembacaan panjang Nurcholis Majid terhadap fakta sejarah kemajuan umat beragama yang sering kali menampilkan pemandangan yang menghayat dan traumatik. konflik, kekerasan, dan perang atas dasar kebencian yang diwarnai sentimen agama begitu tampak. Semisal dalam negeri sendiri di Sulawesi antara umat Islam dan Kristeni yang terus berkepanjangan. atau diluar negeri semisal konflik Katolik dan Islam di Filipina, Konflik Palestina – Israel, Hindu versus Islam di India dan lain sebagainya.
Sebagai sebuah konsep keagamaan yang mendasar, tentu dalam menggagas dan melontarkan ide pluralisme agama Nurcholish Majid mempunyai pijakan berfikir dan landasan normatif yang kuat dan capable. Dalam hal ini Nurcholish Majid bertendensi dengan firman Allah dalam surat Ali-Imran Ayat 64 dan 19.
Artinya : Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah." Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)."
Artinya : Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab[189] kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.
Namun Cak Nur tidak memaknai pluralisme sebagai gagasan yang menganggap semua agama sama, seperti anggapan orang awam. Pluralisme bagi Cak Nur adalah suatu landasan sikap positif untuk menerima kemajemukan semua hal dalam kehidupan sosial dan budaya, termasuk agama. Yang dimaksud dengan sikap positif adalah sikap aktif dan bijaksana. Pluralisme menurut rumusan Cak Nur (panggilan akrab Nurcholis Madjid) merupakan bagian dari sikap dasar dalam berislam. “Yaitu sikap terbuka untuk berdialog dan menerima perbedaan secara adil”, tandasnya. “Dengan keterbukaan dan sikap dialogis itu dimaksudkan agar kita memiliki etos membaca, membina, belajar, dan selalu arif.”
Pandangan pluralis Cak Nur tampaknya belum dipahami oleh masyarakat dan tokoh agama dengan baik. Menurut dosen Paramadina, masih banyak kalangan yang menyalahartikan makna pluralisme. Sebagian menganggap bahwa pluralisme adalah sikap atau gagasan yang meyakini kebenaran semua agama. Sehingga para pendukung gagasan pluralisme sering digolongkan dalam penganut relativisme agama. Bahkan tak jarang dari mereka yang dianggap sesat dan murtad.
Sikap seperti itulah yang nampaknya diyakini oleh mayoritas ulama yang ada di MUI (Majelis Ulama Indonesia). Hingga mereka pun terdesak untuk mengeluarkan fatwa tentang haramnya pluralisme. Pengharaman terhadap gagasan tersebut dinilai oleh Monib bukan tanpa konsekwensi. Fatwa anti pluralisme yang dikeluarkan oleh MUI berdampak luas dalam memengaruhi cara pandang masyarakat yang semakin kuat untuk memusuhi dan menolak kelompok lain agama atau kepercayaan. Hal itu terbukti dengan sikap penolakan masyarakat yang semakin lantang terhadap keberadaan Jama’ah Ahmadiyah yang juga difatwakan oleh MUI sebagai aliran sesat.
Sementara itu bagi Miftah, salah seorang pengelola IJABI (Ikatan Jama’ah Ahlul Bait) aksi kekerasan yang menimpa Ahmadiyah itu dikhawatirkan akan menimpa syiah. Karena syiah juga banyak ditentang oleh sebagian masyarakat. Pada masa-masa seperti sekarang inilah kita semakin merindukan sosok Cak Nur, tegasnya. “Ia selalu membela komunitas yang minoritas dan termarginalkan.”
Lebih lanjut dosen IAIN Sunan Gunung Djati itu menjelaskan sikap Cak Nur terhadap pluralisme. “Cak Nur selalu membedakan antara pluralitas dan pluralisme”, tandasnya. “Pluralitas bagi guru besar UIN Jakarta itu adalah keragaman hidup yang telah menjadi sunnatullah. Sedangkan pluralisme merupakan suatu sikap kejiwaan dan kedewasaan mental dalam menerima keragaman itu. Yang ditekankan pada pluralisme Cak Nur adalah sebuah sikap mental dan kedewasaan untuk bisa menerima perbedaan, karena tidak semuanya bisa menerima perbedaan”, tegasnya. “Dan apabila seseorang tidak dapat menerima pluralisme, itu karena pemahamannya yang belum dewasa.”
Meski Cak Nur banyak dinilai orang sebagai seorang pluralis sejati, tapi bagi mantan pengurus Muhammadiyah, Dawam Raharjo, Cak Nur bukanlah seorang pluralis. “Ia lebih tepat disebut sebagai seorang inklusif, bukan pluralis”, tandasnya dalam forum itu. Menurut tokoh Muhamadiyah yang berpikiran liberal ini, seorang pluralis bukan sekadar orang yang menerima perbedaan terhadap kebenaran agama yang berbeda. Tapi lebih jauh ia juga harus mempelajari kebenaran agama-agama lain dengan sikap yang adil.
Dawam menilai Cak Nur masih memandang semua agama sebagai cahaya, tetapi cahaya yang paling terang adalah Islam. Selain itu ia juga terjebak pada anggapan bahwa agama samawi lebih unggul dari agama bumi. Karena agama samawi diyakini sebagai agama pemberian Tuhan kepada manusia
Cak Nur, lanjut Dawam, merupakan seorang teolog muslim dengan acuan Qur’an dan Sunnah (lebih khusus pada Qur’an). Dan dengan ide tauhidnya yang keras Cak Nur telah bersikap kurang adil. Di sinilah keterbatasan Cak Nur yang menurut Dawam belum sepenuhnya pluralis, tetapi baru sebagai seorang teolog inklusif. “Untuk menjadi pluralis, seseorang harus mempelajari agama-agama lain,” tegas Dawam. “Sementara Cak Nur tidak pernah mempelajari agama-agama lain.”
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Cak Nur tidak memaknai pluralisme sebagai gagasan yang menganggap semua agama sama, namun Pluralisme bagi Cak Nur adalah suatu landasan sikap positif untuk menerima kemajemukan semua hal dalam kehidupan sosial dan budaya termasuk agama.
Pandangan pluralis Cak Nur tampaknya belum dipahami oleh masyarakat dan tokoh agama dengan baik. Menurut dosen Paramadina, masih banyak kalangan yang menyalahartikan makna pluralisme. Sebagian menganggap bahwa pluralisme adalah sikap atau gagasan yang meyakini kebenaran semua agama. Sehingga para pendukung gagasan pluralisme sering digolongkan dalam penganut relativisme agama. Bahkan tak jarang dari mereka yang dianggap sesat dan murtad.
B. Saran
Setelah Penulis dapat menyelesaikan makalah ini, kami harapkan saran dan kritik dari bapak pembimbing dan rekan-rekan sekalian demi kesempurnaan makalah ini. Dan semoga makalah ini bermanfaat bagi yang membaca. Amien
Lampiran 1
1. Bagaimana pluralisme menurut Cak Nur?
2. Bagaimana status kebenaran agama samawi?
3. Apa pluralitas dan pluralisme menurut Cak Nur?
4. Mengapa Cak Nur dianggap sebagai tokoh liberal? ( Terpengaruh orientalis kah?
5. Bagaimana Cak Nur memadukan cara berfikir konservatif dan modern?
6. Apa landasan pluralisme sebagai dasar keagamaan?
Jawab
1. Pluralisme menurut pandangan Cak Nur adalah suatu landasan sikat positif untuk menerima kemajemukan semua hal dalam kehidupan sosial dan budaya, termasuk agama.
2. Agama yang diturunkan oleh Allah seperti agama Kristen, yahudi, nashrani, shabi’I merupakan agama yang telah dimansuh oleh agama islam, yaitu agama yang dalamnya mengandungi panduan yang paling sempurna dan menyeluruh, dalam membimbing umat manusia. Allah s.w.t. menyeru ahlul-kitab, baik dari kalangan Yahudi mahupun Kristian, agar bersama-sama di bawah satu payung samawi yang baru, yang dibawa oleh nabi yang terakhir yaitu Nabi Muhammad s.a.w., dalam rangka untuk membetulkan pengabdian dan aqidah mereka terhadap Tuhan Maha Pencipta. Jadi agama samawi yang ada sampai sekarang tidak ada kebenaran sama sekali.
3. Pluralitas adalah keragaman hidup yang telah menjadi sunnatullah. sedangkan pluralisme merupakan suatu kejiwaan dan kedewasaan mental dalam menerima keraraman itu.
4. Menurut hasil penelitian Charles Kurzman (1998) ia mengkatagorikan Cak Nur sebagai tokoh islam liberal karena Cak Nur disejajarkan dengan Muhammad Iqbal dan kawan-kawan karena garis perjuangannya banyak diilhami gagasan Fazlur Rahman, yang kita kenal sebagai pemrakarsa gagasan progresif tentang neo-modernisme Islam.
Dan kalau melihat latar belakang pendidikan yang ditempuh oleh Cak Nur. Ia pernah belajar di barat yaitu di Universitas Chicago AS (1984), jadi Cak Nur pasti dipengaruhi walaupun Cuma sedikit.
5. Cak Nur dilahirkan dari lingkungan pesantren dan menjadi representasi-istilahya sendiri- "santri yang canggih", yaitu sosok santri terpelajar, memahami kompleksitas dunia modern, dan mengerti bagaimana sebagai seorang Muslim hidup di dunia modern. Hal ini menjadi concern utamanya. Menurutnya, umat Islam harus disiapkan secara teologis memasuki dunia modern, terutama berhadapan dengan isu-isu pemikiran baru atau modern.
Keseimbangan ini berarti menggabungkan khazanah tradisi keagamaan yang kaya, yang dikuasai kaum santri, dengan khazanah modern yang dikuasai golongan modernis. Ungkapan bahasa Arab yang sering dipakai sebagai visi Islam di Indonesia yang ia mimpikan adalah tercapainya sintesis kaum modernis dan tradisionalis (maksudnya Muhammadiyah atau Masyumi, dan NU), di mana mereka akan bersama bekerja secara kreatif untuk "mempertahankan yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik". Visi inilah yang disebutnya "neomodernis"
6. Landasan pluralisme sebagai dasar keagamaan berbijak bertendensi dengan firman Allah dalam surat Ali-Imran Ayat 64 dan 19 . artinya
Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah." Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)." (Ali-Imran Ayat 64)
Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab[189] kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. (Ali-Imran Ayat 19)
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim, Teologi Islam Rasional, Bandung : Ciputat Pers, 2002
Http://Islamlib.Com/Id/Index.Php?Page=Article&Id=1032
Moh Anwar, “Nur Cholis Majid dan Pluralisme Agama”, Sufi, Edisi Perdana
Naufal Walid, “Mengenal Figur Nur Cholis Majid”, Sufi, Edisi Perdana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar