MAKALAH QAWAIDUL FIQH
BY : SYAMSUL HADI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Bekalang
Niat merupakan suatu hal yang selalu ada dalam tingkah laku kita. Mustahil kita berbuat tampa landasan niat.kecuali pada saat kondisi kita aeda di bawah alam sadar.eksistensinyan sangat signifikan dalam membentuk kualitas kreativitas, baik secara vertikal maupun horizontal.dengan niat apa yang kita lakukan akan bernilai ibadah di sisi tuhan dan niat pula keta’atan akan berubah menjadi kema’siatan.
Oleh karena itu pembahasan niat merupakan masalah yang fundamental, mengingat posisinya sebagai barometer dalam setiap perbuatan.sehingga tidaklah keliru ketika banyak hadist-hadist nabi yang menjelaskan tentang eratnya korelasi antara niat dan perbuatan. Bahkan niat mengandung sebuah power yang sangat dahsyat sehingga mampu menggugah jiwa dalam berkomsentrasi dan semaksimal munkin dalam melaksanakan tuntunan agama. Sejauh mana kekuatan niat yang kita miliki sejauh itu pula tingkat konsentrasi dalam beramal. Jadi dari paparan diatas, ternyata ada hal yang menjadi konsekwensi dari niat itu sendiri. Pertama sebagai tolak ukur suatu berbuatan. Kedua sebagai motivator dibalik suatu perbuatan.
Oleh sebab itulah kami sangat antusias, ketika menerima qaidah al-umuru bil-maqasidiha, sebagi tema dari makalah kami dari mata kuliah qowa’idul-fiqh. Dan karena begitu besar konstribusinya terhadap amal perbuatan kita, maka sudah sepantasnyalah kami mengulas makalah ini secara jelas dan lugas, dalam rangka mempermudah pembaca dalam memahami isi-isi yang terkandung di dalamnya.
B. Rumusan Masalah
Pengertian dan dasar-dasarnya
Ruang-lingkupnya
Fungsi pensyariatannya
Hal-hal yang berkaitan dengannya
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan dasar-dasarnya
Al-umuru bil-maqasidiha(segala sesuatu tergantung pada niatnya). Merupakan salah satu dari qaidah-qaidah asasiyah fiqhiyyah. Dan para ulama figh dalam merumuskan qaidah tersebut bukan tampa rujukan yang melatarbelakangi, akan tetapi dibalik sekian rumuasan qaidah asasiyyah tersebut ada sember hukum yang dijadikan landasan. Sedangkan landasan dari qoidah ini hadist nabi yang diriwayatkan oleh imam bukhori dan muslim yang disandarkan kepada sy.umar ibn khottab yang berbunyi:
Dan hadist tersebut dalam kitab sunanya ibn asy’ari dari hadistnya ali ibn abi thalib. Dalam kitab hilyahnya abu na’im dari hadistnyaabi sa’id al-khodri. Dalam kitab amaliyahnya ibn asakir dari hadistnya sy.anas ra. Yang kesemuanya mempunyai literatur yang sama dengan hadist yang disandarkan pada umar ibn khattab.
Sedangkan hadist-hadist tentang masalah niat yang mempunyai literatur berbeda dengan hadist diatas sangat beragam sekali diantaranya:
1. Dari Imam Baihaqi berbunyi
2. Dari Imam Syihab berbunyi
3. Dari Sa’ad Ibn Abi Waqosh berbunyi
4. Dari Ibn Mas’ud berbunyi
5. Dari Abu Hurairah berbunyi
6. Dari dari ‘Uqbah bin Amir berbunyi
7. Dari Abu Dzar berbunyi
8. Dari Imam Shohaib berbunyi
9. Dari Ibnu Umamah berbunyi
B. Ruang Lingkupnya
Masalah-masalah fiqhiyah yang ada dibawah pembahasan qaidah al-umuru bi maqashidiha sangat beragam sekali. Sehingga menyebabkan perselisihan dikalangan ulama’ dalam membatasi kuantitas ruang lingkupnya. Bahkan Ibnu Ubaidah pernah mengatakan bahwa tidak ada dari sekian banyak hadits nabi yang lebih luas cakupannya dan lebih baik faidahnya dari pada hadits yang menjelaskan tentang niat.
Menurut Imam Syafi’i, Ahmad bin Hambal, Abu Daud dan Addaru Qutni bahwa hadits tersebut mencakup terhadap ⅓ dari permasalahan fiqhiyah. Dan pendapat ini diperjelas oleh Imam Baihaqi bahwa segala perbuatan manusia tidak pernah terlepas dari salah satu dari tiga unsur diantaranya: Hati, lidah dan anggota badan. Sehingga beliau sangat antusias ketika hadits tersebut dikatakan mencakup terhadap ⅓ dari permasalahan fiqhiyah, karena memang niat (hati) termasuk salah satu dari ketiga unsur instrumen manusia dalam menjalani kehidupannya. Sedangkan menurut Ibn Muhdi hadits tersebut meliputi 30 bab akan tetapi ada ulama’ yang mengatakan bahwa hadits tersebut meliputi 70 bab dari permasalah ilmu fiqh.
C. Fungsi pensyariatannya
Segala syariat yang ada tidak akan terlepas dari tujuan dibalik pensyariatannya demikian pula dengan niat di dalamnya ada beberapa maksud dan tujuan yang melatar belakanginya diantaranya :
a. Untuk membedakan amalan yang bernilai ibadah dengan yang hanya bersifat kebiasaan belaka, seperti halnya makan, minum, tidur dan lain-lain. hal ini merupakan suatu keniscayaan bagi kita sebagai manusia, disadari atau tidak kita butuh keberadaanya karena hal yang seperti itu termasuk kategori kebutuhan primer. Akan tetapi jika dalam aktualisasinya kita iringi dengan niat untuk mempertegar tubuh sehingga lebih konsentrasi dalam berinteraksi dengan Tuhan maka disamping kita bisa memenuhi kebutuhan juga akan bernilai ibadah di sisi Allah.
Akan tetapi bagi amalan-amalan yang secara eksplisit sudah berbeda dengan amalan yang tidak bernilai ibadah maka tidak diperlukan adanya niat seperti halnya iman, dzikir dan membaca al-Qur’an dan sebagainya. Dan juga termasuk amalan yang tidak membutuhkan niat adalah meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh agama.
b. Untuk membedakan satu ibadah dengan ibadah yang lainnya. Dengan niat ini pula kita bisa menciptakan beranika ragam ibadah dengan tingkatan yang berbeda namun dengan tata cara yang sama seperti halnya wudhu’, mandi besar, shalat dan puasa.
D. Hal-hal yang berkaitan dengan niat
1. Waktu berniat
Pada dasarnya niat itu haru berada diawal permulaan setiap ibadah seperti dalam shalat. Akan tetapi ada beberapa amalan ibadah yang memang harus didahulukan dari amalan itu sendiri bahkan apabila dikerjakan secara bersamaan amalan ibadahnya tidak sah seperti dalam ibadah puasa.
2. Tata cara berniat ketika dikaitkan dengan masalah shalat itu berbeda-beda tergantung status shalat yang dikerjakan.
- Apabila yang dilakukan berstatus Fardlah maka ada 3 hal yang harus terpenuhi yaitu : Qashdul fiil, Ta’yin dan niat fardlu
- Apabila berstatus sunnah baik yang disandarkan pada waktu-waktu dan sebab tertentu maka ada 2 hal yang harus terpenuhi diantaranya : Qashdul fiil dan Ta’yin
- Apabila berstatus sunnah mutlak maka yang harus terpenuhi hanyalah Qashdul fiil
3. Syarat-syarat yang harus terpenuhi bagi orang yang ingin berniat yaitu beragama islam, tamyis (mampu membedakan hal-hal yang bermanfaat dan yang bermudlarat bagi dirinya), yakin terhadap sesuatu yang diniati, sesuatu yang diniati harus merupakan hal-hal yang mungkin dilaksanakan.
4. Perselisihan para ulama’ dalam masalah niat apakah niat tersebut termasuk rukun atau syarat.
- Ada yang berpendapat termasuk rukun sebab niat itu merupakan bagian dari shalat itu sendiri.
- Menuru Abu Thayyib niat termasuk syarat karena kalau tidak maka niat harus diniati pula.
- Sedangkan pendapat Imam Ghazali dalam masalah ini ditafshil apabila dikaitkan dengan shalat maka berstatus rukun dan apabila dengan puasa berstatus syarat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Permasalahan niat merupakan sebuh polemik yang sangat erat korelasinya dengan perbuatan manusia bahkan kalau ditarik dalam tataran keagamaan niat merupakan masalah fundamintal yang berfungsi sebagai barometer kualitas amalan itu sendiri. Berangkat dari sinilah ulama’ terhadulu membuat satu kaidah dari beberapa kaidah asasiyah yang berbunyi Al-Umuru Bi Maqashidiha.
Sedangkan sumber hukum dari kaidah di atas adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim yang disandarkan pada Umar Ibn Khattab yang berbunyi dan masih banyak hadits-hadits yang ada dibalik kaidah tersebut dengan sanad dan perawi yang berbeda-beda namun masih satu objek pembahasan dengan hadits yang disandarkan kepada Umar Ibn Khattab Ra.
Sedangkan permasalahan-permasalahan fiqhyah yang termasuk dalam ruang lingkup kaidah di atas sangat beraneka ragam sekali sehingga para ulama’ dalam menyikapi permasalahan ini juga baraneka ragam ada yang berpendapat bahwa kaidah tersebut meliputi ⅓ dari permasalahan fiqhiyah ada yang mengatakan mencakup terhadap 70 bab bahkan ada ulama’ yang membatasi hanya 30 bab dari seluruh sub pembahasan ilmu fiqh.
Dan tentunya dalam kaitannya (Al-Umuru Bi Maqashidiha) dengan amalan keagamaan seseorang memiliki beberapa fungsi dan konsekwensi, yang kesemuanya ini kami sudah menjelaskan dengan jelas dan lugas pada sub pembahasan.
DAFTAR PUSTAKA
▬ Asybah Wa An-Nadloir, Jalauddin As-Sayuthi, Al-hidayah, Surabaya, 1965
▬ Faraidlul Bahiyah, Umar Al-Faruq, Mahkota, surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar