MAKALAH
Al-Umuru bi Al-Maqâshidiha
Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata
Kuliah Qawaidul Fiqh
JURUSAN TARBIYAH
PRODI BAHASA ARAB
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
PAMEKASAN
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayahnya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dan tidak lupa kami haturkan selaksa sholawat dan salam kepada sang baginda Nabi tercinta pembawa kedamaian bagi seluruh alam semesta sekaligus dipuja oleh jutaan insan yang bertakwa yakni Muhammad Ibn Abdillah.
Dan kami tidak lupa pula ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada teman-teman yang telah ikut serta berpartisipasi dalam penyelesaian makalah ini. Dan semoga makalah ini dapat memberi konstribusi sebagai wahana dalam rangka memperluas wawasan saudara-saudara khususnya pribadi penulis.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian
B. Macam-macam ‘urf
C. Kedudukan hukumnya
D. Syarat-syarat ‘urf
BAB III PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perbedaan ideologi, suku bangsa, ras dan budaya merupakan kehendak Allah yang terialisasi dalam kehidupan ini atau yang lebih kita kenal dengan Sunnatullah. Kehidupan memang edentik dengan perbedaan bahkan dengan perbedaan itulah kehidupan justru lebih bermakna seolah warna warni di taman bungan, seolah pelangi yang mengihiasi alam semesta.
Namun tidak sedikit diantara kita yang memandang perbedaan sumber dari segala permusuhan yang mengakibatkan perpecahan. Oleh karena itulah marilah kita berpikir dewasa bersikap bijaksana menyikapi perbedaan yang ada bahkan dalam masalah ini KH. Mustafa Bisri mengatakan bahwa salah satu tanda kedewasaan mampu hidup di tengah perbedaan.
Namun yang kami tekankan dalam pembahasaan makalah ini adalah perbedaan tradisi atau adat istiadat yang berkembang dalam kehidupan manusia di manapun mereka berada. Dalam kaitannya dengan ijtihad-ijitihad para mujtahid keberadaan tradisi yang begitu beragam menuntut mujtahid untuk selalu selektif dan kreatif dalam mencetuskan sebuah hukum.
Kedudukan tradisi memang sangat signifikan yang berfungsi sebagai bahan pertimbangan serta pandangan dalam memutuskan hukum bahkan kadang kala sebuah tradisi menjelma menjadi konstitusi. Oleh sebab itulah kami sangat antusias sekali dalam memaparkan permasalahan ini (Urf atau tradisi). Dan walaupun pembahasaannya kurang begitu luas dan memuaskan kami rasa sudah cukup sebagai pengetahuan dasar yang nantinya kita bisa kembangkan.
B. Rumusan Masalah
a. Definisi
b. Macam-macamnya
c. Kedudukan hukumnya
d. Syarat-syaratnya
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
‘Uruf adalah apa-apa yang saling diketahui oleh manusia dan mereka mempraktekannya, baik perkataan atau perbuatan atau meninggalkan. Dalam pembicaraan ahli hukum tidak ada perbedaan antara ‘uruf dan adat.
▬ ‘Uruf perkataan: penggunaan lafadz al-waladu kepada anak lelaki, bukan kepada anak perempuan.
▬ ‘Uruf perbuatan: manusia sering berjual beli dengan saling memberi barang dan harganya.
▬ ‘Uruf meninggalkan: manusia tidak menggunakan kata-kata daging untuk ikan.
‘Uruf terbentuk dari saling mengetahui dan menerima diantara manusia walaupun berbeda-beda tingkatan mereka, rakyat umum dan golongan khusus. Berbeda dengan ijma’ yang terbentuk karena kesepakatan ulama’, sedangkan rakyat umum tidak campur tangan dalam pembentukannya.
B. Macam-macam ‘uruf
Pembagian ‘uruf ada dua diantaranya:
1. ‘Uruf shahihah yaitu suatu kebiasan yang bisa dijadikan landasan hukum.
2. ‘Uruf fasidah yaitu suatu kebiasan yang tidak bisa dijadikan landasan hukum, karena bertentangan dengan nash-nash qot’i
Sedangkan ‘uruf yang shahihah masih dibagi dua lagi yaitu ada yang khos dan yang ‘am. ‘uruf shohih ‘am adalah suatu kebiasaan yang telah disepakati oleh setiap manusia dimanapun dan kapanpun mereka berada. Dan ‘urf ‘am ini termasuk kategori ijma’ bahkan mempunyai status yang lebih universal dari pada ijma’. Seperti sesuatu yang diberikan oleh laki-laki kepada wanita pinangannya berupa perhiasan dan pakain adalah hadiah yanh tidak termasuk sebagian dari maskawinnya.
Sedangkan ‘uruf shohih khos adalah suatu kebiasaan yang hanya diakui oleh satu negara, satu propensi ataupun sekelompok masyarakat, seperti halnya dalam masalah perniagaan atau bercocok taman dan lain sebagainya. Dan ‘uruf yang seperti ini ketika dijadikan landasan dari sebuah hukum, maka status keputusnya tidaklah valid.dan hanya berlaku di tempat dan pada masa keputusan hukum tersebut di tetapkan. Karena ‘uruf khos ini bersifat dinamis yang selalu berubah seiring perubahan zaman .
Oleh karena itu, sah-sah saja bagi ulama’-ulama’ masa kini melakukan rekonstruksi atau bahkan dekonstruksi terhadap keputusan-keputusan ulama’ terdahulu. Mengingat tradisi saat ini sudah jauh berbeda dengan tradisi terdahulu yang di jadikan pertiumbangan hukum oleh ulama’ masa itu. Karena memang tidak bisa kita pungkiri bahwa keputusan mereka selalu terkontaminasi oleh situasi dan kondisi yang terjadi ditengan komonitasnya. Sehingga tidak menutup kemungkinan apabila mereka hidup di tengah komonitas yang mempunyai tradisi yang berbeda dengan kehidupan mereka sebelumnya mereka akan merekonstruksi keputusannya sendiri agar selalu sesuai dengan konteks dimana mereka berada. Bahkan hal ini juga pernah terjadi pada diri imam as-syafi’i.
Oleh karena itulah bagi seseorang yang sudah sampai pada tingkatan mujtahid, apabila ingin memutuskan hukum mempunyai sebuah kewajiban untuk selalu mengikuti perkembangan zaman, agar bisa mengetahui seluruh problema dan dinamika yang sedang terjadi. Serta dituntut untuk selalu mengetahui tradisi-tradisi atau adat istiadat yang berlaku ditengah komonitasnya.
Dan di samping itu pula seorang mujtahid di tuntut mampu membedakan antara tradisi yang ‘am dan yang khos. Tujuan dari kesemuanya ini hanya satu yaitu agar hukum yang diputuskan tidak memberatkan terhadah penduduk suatu tempat dimana hukum tersebut ditetapkan.sebagaimana firman Allah dalam al-qur’an yang artinya : Allah tidaklah menghendaki ajaran agama ini memberatkan bagi manusia
C. Kedudukan hukumnya
‘Uruf juga bisa dijadikan landasan hukum dalam masalah fiqhiyyah apabila sudah tidak memenukan hukum dalam al-quran. Dengan berlandaskan sebuah hadist yang artinya : Suatu kebiasaan yang dinilai baik oleh orang-orang islam, juga dinilai baik disisi allah.
Bahkan imam jalaluddin as-sayuti dalam kitab asybah wa an-nadloir mengatakan bahwa ketetapan berdasarkan ‘uruf termasuk dalam kategori ketetapan berdasaekan dalil syar’i. dan juga dalam masalah ini, ada satu kaidah yang masyhur dikalangan ulama’ yang artinya : Apa yang terkenal sebagai ‘uruf sama dengan yang ditetapkan sebagai syarat, dan sesuatu yang tetap karena ‘uruf sama dengan yang tetap karena nash.
D. Syarat-syarat ‘Urf
1. ‘Urf ini berlaku umum artinya dapat diberlakukan untuk mayoritas persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat.
2. ‘Urf telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya. Artinya ‘urf itu lebih dulu ara sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya.
3. ‘Urf itu tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi.
4. ‘Urf tidak bertentangan dengan nash, sehingga hukum yang dikandung nash tidak bisa diterapkan.
Kalau terjadi pertentangan ‘urf dengan dalil syara’ di tengah-tengah masyarakat :
1. Pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat khusus atau rinci, maka ‘urf tidak dapat diterima, seperti kebiasaan orang jahiliyah menyamakan kedudukan anak yang diadopsi dengan anak kandung dalam masalah warisan harus ditinggalkan.
2. Pertentangan ‘urf dengan nash yang bersifat khusus, maka ‘urf harus dibedakan antara ‘urf al-lafzi dengan ‘urf al-amali, jika ‘urf itu ‘urf al-lafzi, maka dapat diterima, dengan alasan tidak ada indikator bahwa nash umum tidak dapat dikhususkan oleh ‘urf. Seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Untuk ‘urf al-amali terjadi perbedaan pendapat ulama hanafiyyah jika ‘urf al-amali bersifat umum, maka ‘urf tersebut dapat mengkhususkan hukum nash yang umum.
3. ‘Urf yang terbentuk belakangan dari nash umum yang bertentangan dengan ‘urf tersebut, maka ulama sepakat mengatakan bahwa ‘urf seperti ini, baik lafzi maupun amali tidak dapat dijadikan hujjah dalam menerapkan hukum syara’. Seperti kerelaan anak perawan ketika dinikahkan dengan diamnya, maka sesuai dengan perkembangan zaman tidak dapat diterima lagi, karena pada saat sekarang anak perawan sudah berani mengatakan iya atau tidak terhadap setiap perkataan orang tuanya.
BAB III
KESIMPULAN
Membahas tradisi berarti juga membahas perbedaan, karena keberadaannya memang begitu beragam dalam kehidupan dan apabila pembahasan ini ditarik kedalam pembahasan fiqh maka juga akan ditemukan beraneka ragam hukum terhadap satu masalah berdasarkan kaidah fiqhiyyah yang artinya : Hukum akan berubah berdasarkan berubahnya illat.
Sedangkan kehujjahan ‘urf ini berdasarkan hadits nabi yang berbunyi “------ ” bahwa segala sesuatu yang dinilai baik oleh kaum muslimin juga dinilai baik disisi Allah.
‘Urf dibagi dua yang Pertama, ‘Urf shahihah yaitu tradisi-tradisi yang bisa dijadikan landasan hukum. Kedua, ‘urf fasidah yaitu tradisi-tradisi yang tidak bisa dijadikan landasan hukum karena bertentangan dengan nash-nash qath’i. Sedangkan ‘urf yang shahihah masih dibagi dua (1) ‘urf ‘am yaitu suatu tradisi yang memperoleh legitimasi dari setiap generasi manusia dimanapun dan kapanpun mereka berada. (2) ‘urf khosh yaitu suatu tradisi yang hanya memperoleh legitimasi dari satu negera, provinsi atau sekelompok manusia.
Dan ‘urf ini tidak serta merta dapat dijadikan landasan hukum, melainkan masi ada beberapa persyaratan yang harus terpenuhi. Dan apabila ada ‘urf yang bertentangan dengan nash maka diperlukan penafsilan sehingga juga akan mengakibatkan konsekwensi yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. H. Nazar Bakri, Fiqh dan Ushul Fiqh, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2003
M. Abu Zahza, Ushul Fiqh, Darul Fikr, Bairut, Lebanon, 19585
Tidak ada komentar:
Posting Komentar