"الله جميل يحبّ الجمال"

Allah Itu Indah, Mencintai Keindahan

Selasa, 30 Juni 2009

Nasakh Dan Mansukh

Nasakh Dan Mansukh

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillah penulis ucapkan puji syukur kepada Allah SWT. Yang telah memberi rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tanpa ada kendala apapun.

Shalawat dan salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada baginda kita nabi Muhammad SAW. Yang telah membawa kita dari alam kejahilan menuju alam yang terang menderang.

Ucapan terima kasih kami ucapkan kepada dosen pengampu mata kuliah sejarah peradaban islam Bpk Ghazali yang telah banyak membagi ilmu dan pengalamannya kepada kami, sehingga makalah yang berjudul „“NASIKH MANSUKH“ dapat terselesaikan.

Akhirnya, semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya, dan para pembaca pada umumnya, Amien ya rabbal alamin.

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara umum Magasid Al- Tasri’ adalah untuk kemaslahatan manusia. Maka dalam pembentukan kemaslahatan manusia tidak dapat dielakkan, adanya Nasikh Mansukh terhadap beberapa hukum terdahulu dan diganti dengan hukum yang sesiuai dengan tuntutan realitas Zaman, waktu, dan kemaslahatan manusia. Proses serupa ini, disebut dengan nasikh mansukh.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa nasikh mansukh terjadi karena Al-qur’an diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang mengiringinya. Oleh karena itu untuk mengetahui Al-Qur’an dengan baik harus mengetahui ilmu nasikh mansukh dalam Al-qur’an.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas berkaitan dengan nasikh mansukhadalah sebagai berikut

A. Pengertian Nasakh Dan Mansukh

B. Pembagian Nasakh Dalam Al-Qur’an

C. Syarat-Syarat Nasakh

D. Bentuk-Bentuk Nasakh

E. Cara Mengetahui Nasakh Dan Mansukh

F. Persamaan Nasakh Dengan Fakhsis

G. Hikmah Nasakh

C. Syarat-Syarat Nasakh

Adanya nasakh itu disyaratkan emrat hal, sebagai berikut:

a. Hukum yang di nasakh harus berupa hukum syara’, bukan hukum lain, seperti hukum akal atau buatan manusia, yang dimaksud hukum syara’ ialah titah Allah SWT. (Dan sunnsh Rosulullah Saw) yang berhubungan dengan perbuatan orangmikallaf, baik secara mewajibkan atau melarang atau menyuruh memilih.

Sedangkan yang dimaksud dengan hukum akal ialahperaturan yang ditetapkan oleh akal. Pikiran manusia, bukan menurut titah Allah SWT.

Jika yang di nasakh (dihapus) atau diganti itu bukan hukum syara’, tidaklah dinamakan nasakh. Contohnya, seperti penghapusan kebebasan bertugas (barna-atudz dzimmati), yaitu yang pada mulanya orang itu bebas tugas, tidak wajib sholat, tidak harus puasa dan sebagainya, Lalu “kebebasan” ituterhapus dengan diwajibkannya sholat, puasa dan sebagainya, penghapusan ini tidak dinamakan nasakh karena tidak memenuhi syarat-syarat nasakh, yaknu karena yang dihapuss dan diganti itu bukan hukum syara’ melainkan akal, yakni kaidah fiqhiyah yang dibuat oleh pikiran manusia.

Kaidah itu berbunyi : “yang asal manusia itu bebas dari beban kewajiban sebelum adanya nash syara”.

Ketetapan bahwa kebebasan bertugas itu dari hukum akal, tidak akan terpengaruh meski kemudian ada dalil syara’ yang memperkuat hukum tersebut. karena itu, hal tersebut tetap berupa hukum akal,meski kemudian ada ayat 15surah Al-isra’ berbunyi.

“Dan kamu tidak akan menyiksa (seseorang) sebelum kami mengutusseorang Rosul.” (Qs. Al-isra’ : 15)

b. Dalil yang menghapuskanhukum syara’ itu harus berupa hukum dalilsyara’. Tidak boleh berupa dalil akal. yang dimaksud dengan dalil syara’ atau syar’iialah dalil Al-Qur’an, hadist,Ijma’ dan kias. hal ini sesuai fengan ketentuan firman Allah dalam surah (An-nisa’ :59) yang berbunyi:

“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada Rosul, dan orang-orang yang memegang kekuasaan diantara kalian, Maka jika kalian berlainan (pendapat) tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rosul (Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah. dan hari kemudian. (Qs. An-Nisa’ 59)

Sedangkan yang dimaksud dengan dalil akal ialah dalil atau argumentasi dari hasil pikiran manusia. Jika dalil yang menasakh itu dalil Aqli, bukan dalil syar’I, maka penghapusan hukumnya itu tidak bisa dinamakan dengan nasakh menurut istilah. Contohnya seperti gugurnya beribadah bagi orang yang sudah pikun, gila, atau meninggal dunia.Sebab gugurnya kewajiban beribadah dengan peristiwa-peristiwa tersebut adalah atas dasar argumentasi atau dalil akal, bukan dalil syar’i. rasionalnya orang yang sudah pikun atau mati itu tidak dapat mengerti hukum Allah, apalagi orang yang telah mati, sehingga menurut akal sudah selayaknya jika orang –orang yang seperti itu tidak berkewajiban beribadah.

Hal itu dikarenakan kalau Allah sudah mencabut karunianya dari hamba-hambanya, seperti telah mencabut akal fikiran, kemampuan, apalagi telah mencabut jiwa seseorang, maka berarti Allah SWT telah menggugurkan hal-hal yang diwajibkan kepada orang tersebut. Hal ini sesuai dengan kaidah :

“Sesungguhnya Allah SWT itu kalau sudah mulai mengambil apa yang di karuniakannya, maka berarti dia telah menggugurkan tugas-tugas yang telah diwajibkan”.

Gugurnya kewajiban ibadah karena dalil akal ini akan tetap, dan tidak akan berubah, meski ada dalil syara’ yang memperkuat hal itu.

c. Adanya dalil baru yang menghapus itu harus setelah ada tenggang waktu dari dalil hukum yang pertama.

maksudanya, antara dalil yang menetapkan hukum dengan dalil yang menghapuskannya itu harus ada tenggang waktu beberapa saat setelah dalil pertama itu datang dan berlaku, baru kemudian datang dalil baru mengubah dan menggantikannya. karena itu, dalam definisi nasakh yang ketiga ada gagasan, bahwa kalau sekiranya tidak ada nasakh, maka ketentuan hukum yang pertama itu akan tetap berlaku terus.

Jadi, antara dalil satu dengan dalil dua itu tidak renggang atau tidak bersambung, tidak seperti gandengannya antara Qayyid dengan yang di Qayyidi (kattishalil Qoyyid bil Qoyyidi) atau antara batasan waktu dengan waktu yang membatasi (kattishalalit ta’qiiti bil muqqati). contohnya seperti firman Allah SWT. “dan sempurnakanlah shalat itu sampai malam. (Qs. al-baqarah : 187)”.

d. antara dua dalil nasakh dan mansukh atau antara dalil I dan dalil II itu harus ada pertentangan yang nyata. yang betul-betul dikontradiktif dann paradoks, sehingga benar-benar tidak tidak dapat dikompromikan atau diketemukan. sebab, sebenarnya nasakh itu adalah keadaan yang terpaksa, sebagai jalan keluar atau pemecahan masalah yang kontras, yang tidak dapat diatasi, kecuali dengan ketentuan baru yang beru datang.

Contohnya, seperti ketentuan dalil ayat 12 surat al-mujadalah yang menghapuskan orang bersedekah sebelum menghadap rasul, dengan ketentuan dalil II dari ayat 13 surah al-mujadalah yang membebaskan kewajiban bersedekah itu.[1]

D. Bentuk-Bentuk Masalah

a. Nasakh syarih yaitu ayat-ayat yang secara tegas menghapuskan hukum ang terdapat dalam ayat terdahulu. Misalnay surat Al-Anfal :65-66, Ayat tentang perang yang mengharuskanperbandingan antara muslim dan kafir adalah : 1:10 dinasakh dan ayat yang mengharuskan hanya 1:2 dalam masalah yang sama. Sebagai mana firman Allah yang berbunyi :

“Hai Nabi, kabarkanlah semangat para mu’min itu untuk berperang, jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu, niscaa mereka dapat menaglahkan duaratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, mereka dapat mengalahkan seribu dari pada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum ang tidak mengerti (65). Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah mengetahui ada kelemahan pada dirimu. maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar niscaya mereka mengalahkan duaratus orang dan jika ada diantaramu seribu (orang yang sabar), niscaa mereka dapat mengalahkan duaribu orang dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar”. (Qs. Al-Anfal : 65-66).

b. Nasakh dimni yaitu bila ada ketentuan hukum ayat yang terdahulu tidak bisa dikompromikan dengan ketentuan hukum ayat yang datang kemudian, ia menasakh ayat yang terdahulu. Misalnya, ayat tentang wasiat kepada ahli waris yang dianggap mansukh oleh ayat waris.

c. Nasakh kulli yaitu masalah hukum yang datang kemudian ia menasakh hukum yang datang sebelumnya secara keseluruhan. Misalna ketentuan hukum iddah satu tahun bagi wanita yang ditinggal mati oleh suaminya yang dinasakh dengan iddah 4 bulan 10 hari. Sebagaimana firman Allah dalam surat (Al-baqarah : 234).

d. Nasakh juz’I yaitu menasakh hukum yang mencakup seluruh individu dengan hukum yang mencakup sebagian individu atau menasakh hukum yang bersifat mutlakdengan hukum yang bersifat mubayyad (terbatas). Sebagaimana firman Allah dalam surat (An-nur : 4-6)[2]

E. Cara Mengetahui Nasakh Dan Mansukh

Cara untuk mengetahui nasakh dan mansukh dapat dilihat dengan cara-cara sebagai berikut:

a. Keterangan tegas dari Nabi atau sahabat, seperti hadist yang berbunyi:

“Aku (dulu) pernah melarangmu berziarah ke keburan, sekarang muhammad telah mendapatkan izin untuk berziarah kekuburan ibunya, kini berziarah kamu kekubur. Sesungguhnya ziarah kubur itu mengingakat pada hari akhir. (HR. Muslim, Abu Daud dan Tirmidzi)”.

b. Kesepakatan umat tentang menentukan bahwa ayat ini nasakh dan ayat itu mansukh.

c. Mengetahui mana yang lebih dahulu dan kemudian turunnya dalam perspektif sejarah.

Nasakh tidak dapat ditetapkan berdasarkan ijtihad, pendapat mufassir, atau keadaan dalil-dalil yang secara lahir tampak kontradiktif, atau terlambatnya keislaman seseorang dari dua perawi.

Ketiga-tiga persyaratan tersebut merupakan faktor yang sangat menentukan adanya nasakh dan mansukh bahwa nasakh dan mansukh hanya terjadi dalam lapangan hukum dan tidak termasuk penghapusan yang bersifat asal (pokok).[3]

F. Persamaan Nasakh Dengan Takhshis

a. Tampaknya, nasakh itu seolah-olah sama seperti takhshis, karena sama-sama membatasi suatu ketentuan hukum dengan batasan waktu, sedang takhshis dengan batasan materi.

Misalnya, dalam cdontoh penghapusan kewajiban berdekah sebelum menghadap rasul. Seolah-olah masalah disitu hanya pembatasan ketentuan itu dengan waktu saja, sehingga sepertinya dapat diungkapkan sebagai berikut:

“kalau akan menghadapa rasul itu, harus memberikan sedekah lebih dahulu, kecuali setelah turun ayat yang meniadakan kewajiban itu”.

Ungkapan itu sepertinya hampir sama dengan kalimat:

“wanita yang ditalak suaminya itu wajib beribadah tiga kali suci, kecuali bagi wanita yang ditalak sebelum dikumpuli”. Oleh karana itu tampak adanya kesamaan antara keduanya itu sah, maka ada perbedaan paham diantara para ulama’. Ada sebagian ulama’ yang mengakui ada dan terjadinya nasakh itu, dan ada pula yan mengingkarinya, dan menganggap nasakh itu sama saja dengan takhshis itu.

b. Nasakh sama dengan takhshis dalam hal sama sama membatasi berlakunya suatu ketentuan hukum syara’. Nasakh mengahapus dan mengganti ketentuan hukum-hukum syara’ sedang takhshis membatasi keumuman jangkauan hukum syara’.

c. Dalil yang mansukh sama dengan dalil yang menakhshis, yaitu sama sama berupa dalil syara’.[4]

G. Hikmah Nasakh

a. Untuk menunujkkan bahwa syariat islam adalah syariat yang paling sempurna.

b. Selalu menjaga kemaslahatan hamba agar kebutuhan mereka senantiasa terpelihara dalam semua keadaan dan disepanjang zaman.

c. Untuk menjaga agar perkembangan hukum islam selalu relevan dengan semua situasi dan kondisi umat yang mengamalkan, mulai dari yang sederhana sampai ketingkat yang sempurna.

d. Untuk menguji orang mukallaf, apakah dengan adanya perubahan dan penggantian-penggantian dari nasakh itu mereka tetap taat, setia mengamlkan hukum-hukm allah, atau dengan begitu lalu mereka ingkar dan membangkang.

e. Untuk menambah kebaikan dan pahala bagi hamba yang selalu setia mengamalkan hukum-hukum perubahan, walaupun dari yang mudah kepada yang sukar.

f. Untuk memberi dispensasi dan keringanan bagi ummat islam, sebab dalam beberapa nasakh banyak yang memperingan beban dan memudahkan pengamalan guna menikmati kebijakansanaan dan kemurahan allah swt. Yang maha pengasih lagi maha penyayang.[5]

DAFTAR PUSTAKA

Anwari, Abu, Ulumul Qur’an Sebuah Pengantar, Media Grafika, 2002

Djalal, Abdul, Ulumul Qur’an, Karang Menurv/24 Surabaya, 1998

Ali, As-Shobuni, Muhammad, Rawaiul Bayan Fitafsir Ayatl Ahkam, Darul Kutub

Http://Shafiullah, Blogspot. Com/2009/04 nasikh Mansukh.

Alawi, Syed, Bin Syed. Abbas Al-Maliki, Faidhul Khoir Wakholasotu Takrin, Al-Haramain.



[1] ibid.., hlm. 115-120

[2] http://shofiullah. blogspot.com/2009/04/nasikh mansukh. html

[3] ibi.., hlm.,53

[4] ibid.., hll.,123

[5] ibi.., hlm.,148

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon ... klo udah baca posting kami, jangan lupaaaaaaaaaaaa kasi komentar yaaa .... n saran konstruktif ....................


thanks yaa atas komentar kaliaaannnnnnnnnnnnnnn !!!!!