RESUME
PENGERTIAN DAN HUKUM PLURALISME DAN LIBERALISME AGAMA
Tidak diragukan lagi, bagi yang masih memegang aqidah Islam, paham semacam itu memang paham syirik, karena itu, sangat wajar bahwa MUI menetapkannya sebagai “haram” dan bertentangan dengan ajaran agama Islam”.
Kaum liberalis sewot. MUI dikatakan ‘tolol’. Jika mereka istiqamah paham liberal, seharusnya membiarkan perbedaan dan tak kebakaran jenggot.
Dalam Munasnya ke-7 di Jakarta, 24-29 Juli2 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan 11 fatwa. Berbeda dengan fatwa-fatwa sebelumnya, fatwa-fatwa MUI kali ini – khususnya tentang Ahmadiyah, Liberalisme, Pluralisme, dan Liberalisme – menuai kecaman, hantaman, dan tentangan yang sangat hebat. Sejak fatwa itu ditetapkan, pada 29 Juli 2005, tiada hari tanpa cacian dan hujatan terhadap MUI. Ada yang menyatakan, MUI tolol, MUI konservatif, dan sebagainya.
Para pihak, khususnya kelompok yang selama ini mengaku Islam Liberal dan pemeluk paham Pluralisme yang tertohok oleh fatwa-fatwa MUI itu, segera melakukan perlawanan habis-habisan.
Fatwa-fatwa MUI, kata Syafii Anwar, Direktur International Centre for Islam and Pluralism, menilai fatwa-fatwa MUI itu adalah sebuah kemunduran yang luar biasa. “MUI hendaknya tidak menjadi polisi akidah atau polisi iman bagi umat Islam di Indonesia,” kata Syafii, doctor alumnus University of Melbourne.
“Fatwa MUI itu punya dampak sangat buruk bagi kehidupan keberagamaan di negeri ini,” kata Ulil Abshar Abdalla, koorinator Jaringan Islam Liberal, kepada majalah GATRA (6/8/2005). Ia juga menegaskan, bahwa fatwa MUI bukanlah hukum yang mengikat umat Islam. Fatwa artinya semacam “legal opinion”, atau pendapat hukum, tetapi bukan hukum itu sendiri. “Yang percaya silakan ikut. Yang tidak juga ndak berdosa.
Jadi, katanya, hukumnya mempercayai fatwa MUI itu mubah, artinya boleh dipercaya, boleh tidak.”
Di negara yang sedang menikmati kebebasan informasi dan kebebasan berpendapat, maka berbagai model dan jenis opini bisa berlalu lalang secara bebas. Tidak bisa dicegah. Tentu saja arah dan jenis opini ditentukan oleh sang penguasa media.
Karena “realitas opini” adalah satu “realitas semu” dan bukan realitas yang sebenarnya. Maka, siapa yang kuat dalam penguasaan media massa, itulah yang biasanya akan memenangkan pertarungan.
Selama ini, termasuk dalam kasus fatwa MUI, tampak kaum liberal-sekular-pluralis lebih mendominasi opini di media massa. Sedangkan MUI dan ormas-ormas Islam pendukungnya, hanya mampu bicara dari majis ke masjid, melalui forum majlis taklim, atau beberapa media cetak dan elektronik tertentu.
Menghadapi gempuran yang bertubi-tubi melalui media massa – terutama televisi – yang dilakukan terhadap MUI, seorang ketua MUI berujar tenang, mengutip sebuah hadits Nabi saw: “Di antara umatku akan selalu ada sekelompok orang yang menegakkan perintah Allah. Orang yang menentang tidak akan membahayakan mereka.” (HR Ibnu Majah).
Diantara 11 fatwa MUI, memang fatwa tentang Ahmadiyah, pluralisme agama, liberalisme, dan sekularisme, paling banyak mendapatkan cemoohan. Fatwa ini mengusik begitu banyak kaum yang selama ini masih bersikap “abu-abu” dan “karaoke” (kanan-kiri oke), artinya liberalisme ya, non-liberal juga ya.
Fatwa ini seperti menarik garis furqan, garis batas yang tegas, siapa yang berada di kutub liberalisme dan siapa yang dikutub non-liberal. Bahkan, kasus ini telah menyatukan orang-orang yang selama ini berseberangan dengan keras, seperti Dawam Rahardjo dan Abdurrahman Wahid.
Sayangnya, di dalam penjelasan para penentang fatwa MUI, ada unsur manipulasi atau ktidaktahuan. Syafii Anwar, misalnya, menyatakan, bahwa Pluralisme bukanlah menyamakan semua agama, melainkan lebih pada mutal respect, saling menghormati. Ulil menyatakan, pluralisme artinya sikap positif dalam menghadapi perbedaan, yakni sikap ingin belajar dari yang lain yang berbeda.
Pendefinisian Pluralisme Agama seperti diungkapkan dua orang penentang keras fatwa MUI itu tentu tidak jujur. Sebab, bukan itu yang dimaksud Pluralisme Agama yang selama ini dikembangkan di Indonesia, dan bukan itu pula yang dimaksudkan oleh MUI. Dr. Anis Malik Thoha, pakar masalah Pluralisme Agama, yang juga Rois Syuriah NU Cabang Istimewa Malaysia, dengan tegas menyatakan, bahwa Pluralisme Agama adalah sebuah agama baru, yang tidak toleran terhadap agama lain.
Menurut Dr. Anis, Pluralisme agama memiliki sejumlah kelemahan mendasar. Pertama, kaum pluralis mengklaim bahwa pluralisme menjunjung tinggi dan mengajarkan toleransi, tapi justru mereka sendiri tidak toleran karena menafikan “kebenaran eksklusif” sebuah agama.
Mereka menafikan klaim “paling benar sendiri” dalam suatu agama, tapi justru faktanya “kaum pluralis”-lah yang mengklaim dirinya paling benar sendiri dalam membuat dan memahami statemen keagamaan (religious statement).
Patut dicatat, katanya, “any statement about religion is religious statement”. Para penganut pluralis tampaknya tidak sadar akan hal ini.
Kedua, adanya “pemaksaan” nilai-nilai dan budaya barat (westernisasi), terhadap negara-negara di belahan dunia bagian timur, dengan berbagai bentuk dan cara, dari embargo ekonomi sampai penggunaan senjata dan pengerahan militer secara besar-besaran seperti yang tengah menimpa Iraq saat ini.
Jadi sebenarnya mereka tidak toleran. Mereka merelatifkan tuhan-tuhan yang dianggap absolut oleh kelompok-kelompok lain seperti Allah, Trinitas, Yahweh, Trimurti, dan lain sebagainya.
Namun di saat yang sama, “secara tanpa sadar” mereka juga mengklaim bahwa hanya tuhan mereka sendiri yang absolut. Tuhan yang absolut menurut mereka ini namanya, seperti yang diusulkan John Hick, adalah “The Real” yang kebetulan ia dapatkan padanan katanya dalam tradisi Islam sebagai “Al-Haq”.
Dalam kasus respon terhadap fatwa MUI, apa yang diungkapkan oleh Dr. Anis tersebut, sudah menjadi kenyataan. Lihatlah bagaimana kalapnya kaum liberal di Indonesia dalam merespon fatwa MUI.
Ada paradoks di dalamnya. Mereka mengaku sebagai liberal, tetapi berusaha keras memaksakan pendapatnya, melalui berbagai cara, mencerca MUI, dan sama sekali tidak menghormati pendapat MUI yang berbeda pendapat dengan mereka.
Karena MUI tidak sama dengan mereka, maka MUI dicaci maki dan diolok-olok. Seolah-olah semua orang harus sama dengan mereka.
Jika mereka memaksakan pendapatnya, maka sejatinya itu adalah liberal dan pluralis palsu serta inkonsisten. Jika bersikap liberal, ya biarkan saja siapa pun untuk bersikap dan berpendapat, meskipun itu menentang pendapat mereka sendiri.
Bukankah, kata mereka, fatwa MUI itu tidak mengikat, mubah, dan tolol? Jika memang begitu, maka mengapa mesti mencak-mencak terhadap fatwa MUI?
Mestinya, mereka bersikap tenang saja, biarkan saja fatwa MUI itu diyakini oleh umat Islam yang meyakininya. Yang tidak “doyan” dengan fatwa MUI, ya tenang saja, dan kalau mau, buatlah fatwa tandingan.
Jadi, sikap otoritarian itu ternyata melekat pada kaum liberal dan pluralis sendiri, seperti dinyatakan Dr. Anis Malik, yang juga dosen perbandingan agama di Universitas Islam Internasional Malaysia.
Menurut Dr. Anis, Pluralisme Agama tidak membenarkan penganut atau pemeluk agama lain untuk menjadi dirinya sendiri, atau mengekspresikan jati-dirinya secara utuh, seperti mengenakan simbul-simbul keagamaan tradisional.
Jadi, wacana pluralisme sebenarnya merupakan upaya penyeragaman (uniformity) atau meyeragamkan segala perbedaan dan keberagaman agama.
Ini jelas secara ontologis bertentangan dengan sunnatullah yang pada gilirannya akan mengancam eksistensi manusia itu sendiri. Karena itu, aneh sekali, jika gagasan ini dikembangkan.
Karena itu, Dr. Anis mengajak umat Islam untuk menyambut baik fatwa MUI tentang Pluralisme Agama, dan semoga orang-orang yang selama ini termakan paham ini segera menyadari kekeliruannya serta kembali ke jalan yang benar.
Jika ditelaah, sebanarnya tokoh-tokoh yang mengaku liberal dan pluralis dalam soal agama, memang sudah berulang kali menyebarkan paham persamaan agama dan kebenaran semua agama.
Pluralisme Agama, bukan sekedar sikap toleransi atau menerima perbedaan, atau sikap bersedia mengambil pelajaran dari pihak yang berbeda. Jika memang definisinya seperti ini, untuk apa MUI capek-capek membuat fatwa, yang mempertaruhkan reputasinya sendiri?
MUI mendefinsikan PluralismeAgama (PA) sebagai: “Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah.
Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.”
Definisi PA versi MUI memang bukan definisi akademis, tetapi tampaknya lebih merujuk kepada definisi empiris gagasan PA yang selama ini dikembangkan para aktivisnya. Berikut ini berbagai ungkapan tentang PA sebagaimana disampaikan para pendukung dan penyebarnya di Indonesia.
Ide persamaan agama dan jawabannya telah dibahas dengan baik, misalnya, oleh Prof. Rasjidi, dalam bukunya Empat Kuliah Agama di Perguruan Tinggi, (Bulan Bintang, Jakarta, 1985, hal. 24-33). Dr. J. Verkuil pernah menulis buku berjudul, "Samakah Semua Agama?" yang memuat hikayat Nathan der Weise (Nathan yang Bijaksana).
Nathan adalah seorang Yahudi yang ditanya oleh Sultan Saladin tentang agama manakah yang terbaik, apakah Islam, Yahudi, atau Nasrani. Ujungnya, dikatakan, bahwa semua agama itu intinya sama saja.
Hikayat Nathan itu ditulis oleh Lessing (1729-1781), seorang Kristen yang mempercayai bahwa intisari agama Kristen adalah Tuhan, kebajikan, dan kehidupan kekal. Intisari itu, menurutnya, juga terdapat pada Islam, Yahudi, dan agama lainnya.
Budhy Munawar Rahman, penulis buku “Islam Pluralis” menulis, “Karenanya, yang diperlukan sekarang ini dalam penghayatan masalah Pluralisme antar agama, yakni pandangan bahwa siapa pun yang beriman – tanpa harus melihat agamanya apa – adalah sama di hadapan Allah. Karena, Tuhan kita semua adalah Tuhan Yang Satu.”
Ulil Abshar Abdalla mengatakan: “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar.” (GATRA, 21 Desember 2002). Ide Ulil tentang agama ini berimbas pada masalah hokum perkawinan antar-agama, yang akhirnya ditegaskan kembali keharamannya oleh fatwa MUI.
Dalam artikelnya di Kompas (18/11/2002) yang berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”, Ulil menyatakan: “Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi.”
Sumanto Al Qurtuby, dalam bukunya “Lubang Hitam Agama”, menulis: “Jika kelak di akhirat, pertanyaan di atas diajukan kepada Tuhan, mungkin Dia hanya tersenyum simpul.
Sambil menunjukkan surga-Nya yang mahaluas, di sana ternyata telah menunggu banyak orang, antara lain, Jesus, Muhammad, Sahabat Umar, Ghandi, Luther, Abu Nawas, Romo Mangun, Bunda Teresa, Udin, Baharudin Lopa, dan Munir!” (Sumanto Al Qurtuby, Lubang Hitam Agama, Rumah Kata, Yogyakarta, 2005, hal. 45).
Dari sejumlah contoh itu, tampak bahwa definisi MUI tentang “Pluralisme Agama” sudah tepat. Paham “penyamaan agama” seperti itu berarti mengandung konsekuensi adanya relativitas kebenaran agama.
Tidak diragukan lagi, bagi yang masih memegang aqidah Islam, paham semacam itu memang paham syirik, karena itu, sangat wajar bahwa MUI menetapkannya sebagai “haram” dan bertentangan dengan ajaran agama Islam”.
Kaum liberalis sewot. MUI dikatakan ‘tolol’. Jika mereka istiqamah paham liberal, seharusnya membiarkan perbedaan dan tak kebakaran jenggot.
Dalam Munasnya ke-7 di Jakarta, 24-29 Juli2 2005, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan 11 fatwa. Berbeda dengan fatwa-fatwa sebelumnya, fatwa-fatwa MUI kali ini – khususnya tentang Ahmadiyah, Liberalisme, Pluralisme, dan Liberalisme – menuai kecaman, hantaman, dan tentangan yang sangat hebat. Sejak fatwa itu ditetapkan, pada 29 Juli 2005, tiada hari tanpa cacian dan hujatan terhadap MUI. Ada yang menyatakan, MUI tolol, MUI konservatif, dan sebagainya.
Para pihak, khususnya kelompok yang selama ini mengaku Islam Liberal dan pemeluk paham Pluralisme yang tertohok oleh fatwa-fatwa MUI itu, segera melakukan perlawanan habis-habisan.
Fatwa-fatwa MUI, kata Syafii Anwar, Direktur International Centre for Islam and Pluralism, menilai fatwa-fatwa MUI itu adalah sebuah kemunduran yang luar biasa. “MUI hendaknya tidak menjadi polisi akidah atau polisi iman bagi umat Islam di Indonesia,” kata Syafii, doctor alumnus University of Melbourne.
“Fatwa MUI itu punya dampak sangat buruk bagi kehidupan keberagamaan di negeri ini,” kata Ulil Abshar Abdalla, koorinator Jaringan Islam Liberal, kepada majalah GATRA (6/8/2005). Ia juga menegaskan, bahwa fatwa MUI bukanlah hukum yang mengikat umat Islam. Fatwa artinya semacam “legal opinion”, atau pendapat hukum, tetapi bukan hukum itu sendiri. “Yang percaya silakan ikut. Yang tidak juga ndak berdosa.
Jadi, katanya, hukumnya mempercayai fatwa MUI itu mubah, artinya boleh dipercaya, boleh tidak.”
Di negara yang sedang menikmati kebebasan informasi dan kebebasan berpendapat, maka berbagai model dan jenis opini bisa berlalu lalang secara bebas. Tidak bisa dicegah. Tentu saja arah dan jenis opini ditentukan oleh sang penguasa media.
Karena “realitas opini” adalah satu “realitas semu” dan bukan realitas yang sebenarnya. Maka, siapa yang kuat dalam penguasaan media massa, itulah yang biasanya akan memenangkan pertarungan.
Selama ini, termasuk dalam kasus fatwa MUI, tampak kaum liberal-sekular-pluralis lebih mendominasi opini di media massa. Sedangkan MUI dan ormas-ormas Islam pendukungnya, hanya mampu bicara dari majis ke masjid, melalui forum majlis taklim, atau beberapa media cetak dan elektronik tertentu.
Menghadapi gempuran yang bertubi-tubi melalui media massa – terutama televisi – yang dilakukan terhadap MUI, seorang ketua MUI berujar tenang, mengutip sebuah hadits Nabi saw: “Di antara umatku akan selalu ada sekelompok orang yang menegakkan perintah Allah. Orang yang menentang tidak akan membahayakan mereka.” (HR Ibnu Majah).
Diantara 11 fatwa MUI, memang fatwa tentang Ahmadiyah, pluralisme agama, liberalisme, dan sekularisme, paling banyak mendapatkan cemoohan. Fatwa ini mengusik begitu banyak kaum yang selama ini masih bersikap “abu-abu” dan “karaoke” (kanan-kiri oke), artinya liberalisme ya, non-liberal juga ya.
Fatwa ini seperti menarik garis furqan, garis batas yang tegas, siapa yang berada di kutub liberalisme dan siapa yang dikutub non-liberal. Bahkan, kasus ini telah menyatukan orang-orang yang selama ini berseberangan dengan keras, seperti Dawam Rahardjo dan Abdurrahman Wahid.
Sayangnya, di dalam penjelasan para penentang fatwa MUI, ada unsur manipulasi atau ktidaktahuan. Syafii Anwar, misalnya, menyatakan, bahwa Pluralisme bukanlah menyamakan semua agama, melainkan lebih pada mutal respect, saling menghormati. Ulil menyatakan, pluralisme artinya sikap positif dalam menghadapi perbedaan, yakni sikap ingin belajar dari yang lain yang berbeda.
Pendefinisian Pluralisme Agama seperti diungkapkan dua orang penentang keras fatwa MUI itu tentu tidak jujur. Sebab, bukan itu yang dimaksud Pluralisme Agama yang selama ini dikembangkan di Indonesia, dan bukan itu pula yang dimaksudkan oleh MUI. Dr. Anis Malik Thoha, pakar masalah Pluralisme Agama, yang juga Rois Syuriah NU Cabang Istimewa Malaysia, dengan tegas menyatakan, bahwa Pluralisme Agama adalah sebuah agama baru, yang tidak toleran terhadap agama lain.
Menurut Dr. Anis, Pluralisme agama memiliki sejumlah kelemahan mendasar. Pertama, kaum pluralis mengklaim bahwa pluralisme menjunjung tinggi dan mengajarkan toleransi, tapi justru mereka sendiri tidak toleran karena menafikan “kebenaran eksklusif” sebuah agama.
Mereka menafikan klaim “paling benar sendiri” dalam suatu agama, tapi justru faktanya “kaum pluralis”-lah yang mengklaim dirinya paling benar sendiri dalam membuat dan memahami statemen keagamaan (religious statement).
Patut dicatat, katanya, “any statement about religion is religious statement”. Para penganut pluralis tampaknya tidak sadar akan hal ini.
Kedua, adanya “pemaksaan” nilai-nilai dan budaya barat (westernisasi), terhadap negara-negara di belahan dunia bagian timur, dengan berbagai bentuk dan cara, dari embargo ekonomi sampai penggunaan senjata dan pengerahan militer secara besar-besaran seperti yang tengah menimpa Iraq saat ini.
Jadi sebenarnya mereka tidak toleran. Mereka merelatifkan tuhan-tuhan yang dianggap absolut oleh kelompok-kelompok lain seperti Allah, Trinitas, Yahweh, Trimurti, dan lain sebagainya.
Namun di saat yang sama, “secara tanpa sadar” mereka juga mengklaim bahwa hanya tuhan mereka sendiri yang absolut. Tuhan yang absolut menurut mereka ini namanya, seperti yang diusulkan John Hick, adalah “The Real” yang kebetulan ia dapatkan padanan katanya dalam tradisi Islam sebagai “Al-Haq”.
Dalam kasus respon terhadap fatwa MUI, apa yang diungkapkan oleh Dr. Anis tersebut, sudah menjadi kenyataan. Lihatlah bagaimana kalapnya kaum liberal di Indonesia dalam merespon fatwa MUI.
Ada paradoks di dalamnya. Mereka mengaku sebagai liberal, tetapi berusaha keras memaksakan pendapatnya, melalui berbagai cara, mencerca MUI, dan sama sekali tidak menghormati pendapat MUI yang berbeda pendapat dengan mereka.
Karena MUI tidak sama dengan mereka, maka MUI dicaci maki dan diolok-olok. Seolah-olah semua orang harus sama dengan mereka.
Jika mereka memaksakan pendapatnya, maka sejatinya itu adalah liberal dan pluralis palsu serta inkonsisten. Jika bersikap liberal, ya biarkan saja siapa pun untuk bersikap dan berpendapat, meskipun itu menentang pendapat mereka sendiri.
Bukankah, kata mereka, fatwa MUI itu tidak mengikat, mubah, dan tolol? Jika memang begitu, maka mengapa mesti mencak-mencak terhadap fatwa MUI?
Mestinya, mereka bersikap tenang saja, biarkan saja fatwa MUI itu diyakini oleh umat Islam yang meyakininya. Yang tidak “doyan” dengan fatwa MUI, ya tenang saja, dan kalau mau, buatlah fatwa tandingan.
Jadi, sikap otoritarian itu ternyata melekat pada kaum liberal dan pluralis sendiri, seperti dinyatakan Dr. Anis Malik, yang juga dosen perbandingan agama di Universitas Islam Internasional Malaysia.
Menurut Dr. Anis, Pluralisme Agama tidak membenarkan penganut atau pemeluk agama lain untuk menjadi dirinya sendiri, atau mengekspresikan jati-dirinya secara utuh, seperti mengenakan simbul-simbul keagamaan tradisional.
Jadi, wacana pluralisme sebenarnya merupakan upaya penyeragaman (uniformity) atau meyeragamkan segala perbedaan dan keberagaman agama.
Ini jelas secara ontologis bertentangan dengan sunnatullah yang pada gilirannya akan mengancam eksistensi manusia itu sendiri. Karena itu, aneh sekali, jika gagasan ini dikembangkan.
Karena itu, Dr. Anis mengajak umat Islam untuk menyambut baik fatwa MUI tentang Pluralisme Agama, dan semoga orang-orang yang selama ini termakan paham ini segera menyadari kekeliruannya serta kembali ke jalan yang benar.
Jika ditelaah, sebanarnya tokoh-tokoh yang mengaku liberal dan pluralis dalam soal agama, memang sudah berulang kali menyebarkan paham persamaan agama dan kebenaran semua agama.
Pluralisme Agama, bukan sekedar sikap toleransi atau menerima perbedaan, atau sikap bersedia mengambil pelajaran dari pihak yang berbeda. Jika memang definisinya seperti ini, untuk apa MUI capek-capek membuat fatwa, yang mempertaruhkan reputasinya sendiri?
MUI mendefinsikan PluralismeAgama (PA) sebagai: “Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah.
Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.”
Definisi PA versi MUI memang bukan definisi akademis, tetapi tampaknya lebih merujuk kepada definisi empiris gagasan PA yang selama ini dikembangkan para aktivisnya. Berikut ini berbagai ungkapan tentang PA sebagaimana disampaikan para pendukung dan penyebarnya di Indonesia.
Ide persamaan agama dan jawabannya telah dibahas dengan baik, misalnya, oleh Prof. Rasjidi, dalam bukunya Empat Kuliah Agama di Perguruan Tinggi, (Bulan Bintang, Jakarta, 1985, hal. 24-33). Dr. J. Verkuil pernah menulis buku berjudul, "Samakah Semua Agama?" yang memuat hikayat Nathan der Weise (Nathan yang Bijaksana).
Nathan adalah seorang Yahudi yang ditanya oleh Sultan Saladin tentang agama manakah yang terbaik, apakah Islam, Yahudi, atau Nasrani. Ujungnya, dikatakan, bahwa semua agama itu intinya sama saja.
Hikayat Nathan itu ditulis oleh Lessing (1729-1781), seorang Kristen yang mempercayai bahwa intisari agama Kristen adalah Tuhan, kebajikan, dan kehidupan kekal. Intisari itu, menurutnya, juga terdapat pada Islam, Yahudi, dan agama lainnya.
Budhy Munawar Rahman, penulis buku “Islam Pluralis” menulis, “Karenanya, yang diperlukan sekarang ini dalam penghayatan masalah Pluralisme antar agama, yakni pandangan bahwa siapa pun yang beriman – tanpa harus melihat agamanya apa – adalah sama di hadapan Allah. Karena, Tuhan kita semua adalah Tuhan Yang Satu.”
Ulil Abshar Abdalla mengatakan: “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar.” (GATRA, 21 Desember 2002). Ide Ulil tentang agama ini berimbas pada masalah hokum perkawinan antar-agama, yang akhirnya ditegaskan kembali keharamannya oleh fatwa MUI.
Dalam artikelnya di Kompas (18/11/2002) yang berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”, Ulil menyatakan: “Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi.”
Sumanto Al Qurtuby, dalam bukunya “Lubang Hitam Agama”, menulis: “Jika kelak di akhirat, pertanyaan di atas diajukan kepada Tuhan, mungkin Dia hanya tersenyum simpul.
Sambil menunjukkan surga-Nya yang mahaluas, di sana ternyata telah menunggu banyak orang, antara lain, Jesus, Muhammad, Sahabat Umar, Ghandi, Luther, Abu Nawas, Romo Mangun, Bunda Teresa, Udin, Baharudin Lopa, dan Munir!” (Sumanto Al Qurtuby, Lubang Hitam Agama, Rumah Kata, Yogyakarta, 2005, hal. 45).
Dari sejumlah contoh itu, tampak bahwa definisi MUI tentang “Pluralisme Agama” sudah tepat. Paham “penyamaan agama” seperti itu berarti mengandung konsekuensi adanya relativitas kebenaran agama.
Tidak diragukan lagi, bagi yang masih memegang aqidah Islam, paham semacam itu memang paham syirik, karena itu, sangat wajar bahwa MUI menetapkannya sebagai “haram” dan bertentangan dengan ajaran agama Islam”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar