"الله جميل يحبّ الجمال"

Allah Itu Indah, Mencintai Keindahan

Minggu, 25 Juli 2010

PERMASALAHAN DALAM FIQH

PERMASALAHAN DALAM FIQH

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Adapun peraturan-peraturan yang sudah ada tercantum dalam dunia yang bersumber dari AL-Qur'an hadits, ijma', qiyas, dari inilah para ulama' membukukan kaidah-kaidah yang disebabkan karena para muhakikin telah mengembalikan segala masalah fiqih kepada kaidah-kaidah. Tiap-tiap kaidah itu, menjadi dlabith dan pengumpul dari berbagai masalah. Kemudian dari kaidah-kaidah tersebut diterima oleh sebuah untuk menetapkan hukum suatu masalah. Dengan memahami kaidah-kaidah itu, menyebabkan kita merasa tertarik kepada masalah-masalah tersebut dan menjadi wasilah untuk menetapkan masalah-masalah itu didalam zihin, maka untuk lebih Jelasnya disini akan dijelaskan tentang beberapa kaidah-kaidah, guna untuk lebih dipahami lebih jelas.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah keadaan itu menurut keadaan atau menurut bendanya.

2. Apakah kekhususannya batal, apakah masih tetap ke umumanmya.

3. Anak yang masih dalam kandungan, apakah dihukumi seperti maklum (sesuatu yang telah diketahui), ataukah sebagai majhul (sesuatu yang belum diketahui).

4. Orang yang bisa yakin, apakah baginya di bolehkan ijtihad dan mengambil perkiraan yang kuat.

5. Halangan yang datang kemudian itu, apakah ia seperti yang membarengi?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Kaidah 16 إدا بطل الخصوص هل يبقي العموم ؟

"Apakah kekhususannya batal, apakah masih tetap keumumannya".

Kaidah ini memberikan kewenangan pada suatu pekerjaan apakah batal kekhususannya (kewajiban) ataukah keumumannya tetap. Sebab dalam kaidah ini ada pendapat-pendapat yang berbeda

Misalnya: Seseorang telah melakukan takbiratul ikhram pada shalat yang belum masuk waktunya, maka batallah kekhusuannya (niat shalat itu) tetapi menurut pendapat yang kuat masih dianggap berlaku keumumannya yakni takbir itu untuk shalat[1].

Contohnya: Seorang muslim berniat melaksanakan sholat mahgrib 4 rakaat, tetapi ia tetap dalam melaksanakan 3 rakaat maka sholatnya tetap saja sah.

Analisis:

إذا بطل الخصوص هل يبقي العموم ؟

: Manakala yang khusus batal, apakah yang umum masih tetap, ataukah tidak ?

Kaidah ini agar lebih cepat di pahami dan dimengerti maka disini akan langsung pada persoalan, misalnya: Orang yang bertayamum untuk shalat wajib sebelum masuk waktunya, maka batal tayamumnya untuk digunakan shalat wajib karena kebolehan tayamum adalah menunggu waktu shalat tiba serta tidak boleh digunakan sunnah, ada lagi apabila niatnya untuk tayamun shalat sunnah, diperbolehkan yang demikian ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh : AS Syaikhan (Bukhori & Muslim) dari Imran bin Hushain yakni:

عليك باالصعيد فإنه يكفيك

Artinya : Hendaknya (kau bertayamum) dengan debu Sesugguhnya hal itu cukup bagimu.

Dari hadits ini dapat ditarik kesimpulan bahwa bertayamum satu kali untuk semua shalat. Selama tidak berhadast atau tidak mendapatkan air. Boleh pula untuk tiap-tiap satu kali shalat fardhu[2].

Selain masalah-masalah yang dipertentangkan, ada juga masalah yang disepakati "tidak tetap" misalnya:

1. Seseorang mempunyai harta di luar daerah. Pada waktu mengeluarkan zakat, harta yang daerah itupun dizakati. Kemudian ada laporan bahwa karena sesuatu sebab harta yang di luar daerah rusak maka zakat yang telah dikeluarkan, tetap sebagai shadaqah tathawwu'.

2. Seseorang menjadi wakil dari temannya untuk melakukan jual beli yang tidak sah. Menurut hukum, yang umumnya ikut batal bersama yang khusus. Jadi, orang tersebut hendak melakukan jual beli yang tidak sah (seperti yang dipesnkan temannya) juga tidak boleh, sebab tidak perkenankan oleh syra' karena yang dinamakan jual beli adalah menukarkan sesuatu benda dengan alat pembelian yang sah dengan harta benda yang lain dan keduanya menerimanya dengan ijab kobul[3]

Kaidah 17.

الحمد الله هل يعطي حكم المعلوم او المجهول؟

Kandungan itu, apakah diberi hukum ma'lum, ataukah majhul?

Maksud dari kaidah ini adalah anak yang masih dalam kandungan, apakah dihukumi seperti ma'lum (sesuatu yang telah belum diketehui), ataukah sebagai majhul (sesuatu yang belum diketahui).

Ambil contoh, misalnya seseorang katakanlah namanya Ahmad menjual kambingnya yang bunting dengan anak yang terdapat dalam perut induknya kepada tetangganya, menurut sebagian pendapat menganggap sah bagi induk kambing ini kepadamu tetapi aku tidak menjual anak yang ada dalam perutnya"", namanya pendapat yang dimiliki ini dibantah oleh sebagian yang lain, yang mengatakan hukumnya tidak sah.

Contohnya: Seseorang berzina dengan seorang wanita, lalu lahir anak dari hubungan tersebut anak itu tidak bisa dinasabkan kepada lelaki yang menanamkan bibit pada waktu tersebut.

Analisis :

الحمد الله هل يعطي حكم المعلوم او المجهول؟

"Kandungan itu, apakah diberi hukum maklum, ataukah majhul?"

Dalam hadits ini perlu diperhatikan karena hadits ini menjadi kunci dari kaidah di atas yaitu:

عن ابي سعيد الخدري رضي الله عنه. ان النبي صلعم. نهي عن شراء ما فى بطون الانعام حتى تضع وعن بيع ما فى ضروعها (رواه ابن ماجه والبسار)

Artinya: Dan Abi Sa'id an-Khudry ra. Rasulullah SAW, melarang membeli anak yang ada di dalam perut hewan sehingga dilahirkan, dan melarang menjual air susu hewan yang ada dalam teteknya". (HR. Ibn Majah dab al-Bazary).

Juga Rasulullah bersabda :

عن جابر ان النبي صلعم من اطرق فرسا فأعقب كان له كأبر سبعين فرسا (رواه ابن حبان)

"Dari Abi kabsyal Nabi SAW bersabda : "Barang siapa mencapurkan hewan jantan dengan hewan betina lalu mendapat anak, maka baginya pahala sebanyak 70 hewan". (HR. Ibu Hibban)

Perlu juga diperhatikan bahwa dalam masalah masiat pada anak dalam kandungan itu diperbolehkan karena hal itu sudah jelas, tetapi dalam hal waris-mewaris, maka anak dalam kandungan dianggap laki-laki saja misalnya, sebab dengan begitu maka ketika ia lahir laki-laki maka bagiannya sebagaimana mestinya[4].

Kaidah 18

النادر هل يلحق بجنسه او بنفسه ؟

"Sesuatu yang jarang terjadi, apakah dikaitkan dengan jenisnya atau menurut keadaan bendanya sendiri".

Dari kaidah ini dapat diambil pengertian bahwa apabila ada sesuatu yang sakral terjadi itu bisa dikaitkan dengan jenisnya atau menurut keadaan bendanya.

Pendapat 1: disamakan dengan jenisnya

Pendapat 2: disamakan dengan benda itu sendiri

Dari pendapat kedua di atas kita ambil contoh misalnya karena suatu kecelakaan, seorang perempuan putus tangannya (yang telah terpisah dari tubuh wanita) itu apakah wudlu'nya menjadi batal, atau kas tidak? Menurut keterangan : tangan yang sudah terpisah dari tubuh perempuan itu, kalau dipandang dari segi jenis, termasuk jenis tangan perempuan tetapi kalau dilihat dari segi keadaan bendanya itu sendiri, tidak lebih dari pada sepoong daging.

Analisis:

"Sesuatu yang jarang terjadi, apakah dikaitkan dengan jenisnya ataukah dengan keadaan bendanya."

Maksudnya kejadian yang telah terjadi dan itu pun jarang terjadi (النادر) maka kita bisa mengaitkan pada jenisnya atau pada keadaannya seperti contoh yang memang disepakati diantara masalahnya, yang tegas-tegas nadir disepakati dengan jenisnya, ada orang yang sejak lahir mempunyai dua muka dan tidak di ketahui maakah yang merupakan kelebihan, menurut hukum, kedua muka (wajah) itu wajib dibasuhi dalam wudhu'.

Dan ada juga nadir disamakan dengan keadaannya, misalnya jari lebih dan melihat letaknya memang jelas merupakan jari lebih. Menurut hukum dalam bab diyat, jari lebih itu tidak disamakan dengan jari aslinya[5].

Contohnya: orang yang bersumpah tanpa mengaitkan dengan waktu, lalu ia melanggar sumpahnya itu maka kafaratnya boleh di bayar kapan saja.

Kaidah 19.

القادر على اليقين هل له الاجتهاد والاخذ بالضن؟

"Orang yang bisa yakin apakah baginya boleh ijtihad dan mengambil perkiraan yang kuat?"

Pengertian dari kaidah ini bahwa ketika seseorang telah meyakinkan sesuatu terhadap perkara apakah bisa mengambil keputusan yang kuat ataukah boleh berijtihad? Ketika berbicara masalah yakin berarti sudah mencapai puncak, artinya keyakinan itu tidak bercampur dengan bimbingan atau keragu-raguan yang memang tidak jelas. Maka dari itu sesuai dengan kaidah:

الاصل بقاء ماكان على ماكان.

Yang artinya "yang menjadi pokok adalah tetapnya sesuatu pada keadaan :

Kemudian Nabi bersabda

اذا اجتهد الحاكم فأصاب فله اجرن واذا حكم واجتهد فأخطا فله اجر واحل.

Jika seseorang penguasa berijtihad kemudian benar, maka ia mendapatkan dua pahala, dan jika ia berkuasa kemudian berijtihad kemudian keliru maka ia mendapatkan satu pahala.

Jadi dengan seperti ini maka bolehlah berijtihad atau mengambil perkiraan yang kuat seperti contoh: seseorang yang memiliki dua sarung, yang satu kena najis dan yang lain tidak, tetapi karena najisnya sudah kering maka ia tidak dapat membedakan dan menentukan dengan pasti, manakah diantara kedua sarung itu yang terkena najis, sementara itu masih ada sarung lagi yang jelas suci yang berada dalam almari, ketika ia akan sholat bolehkah ia berijtihad meneliti dua lembar sarung yang masih diragukan itu, mana yang suci diantara keduanya, ataukah keduanya ditinggalkan dan menggunakan sarung ketiga (yang masih ada di lemari) yang jelas suci? Ada pendapat yang membolehkan berijtihad dan ada pendapat yang tidak boleh berijtihad.

Contohnya: orang berbuat baik di beri pahala bagi pelakunya dan orang yang berbuat buruk dikenakan sanksi bagi pelanggarnya.

Analisis:

القادر على اليقين هل له الاجتهاد والاخذ بالضن؟

"Orang yang bisa yakin, apakah baginya-boleh berijtihad dan mengambil perkiraan yang kuat".

Kaidah di atas bahwa keyakinan merupakan kunci dalam kesuksesan asalkan keyakinan tersebut tidak diragukan atau tidak dengan sesuatu yang menghalanginya atau memang sudah ada bukti tentang keyakinan itu.

Sesuai dengan kaidah ini.

الاصل بقاء ماكان على ماكان حق يشبر ما يغيره.

"Pada dasar itu tetap"

Menurut adanya sehingga terbukti ada sesuatu arti dari kaidah ini apabila pengertian seseorang menjumpai sesuatu, baik itu keraguan maupun yang lainnya mengenai hukum yang telah ada atau yang ditetapkan pada masa yang lalu sehingga sampai adanya hukum lain yang mengubahnya, karena apa yang telah ada lebih dapat diyakini[6].

Kaidah 20.

المانع الطري هل هو كالمقارن؟.

Halangan yang datang kemudian itu, apakah ia seperti membaranginya?

Halangan pandangan bisa dibuat-buat kadang tidak, jelas entah halangan apa yang akan menimpanya. Halangan bisa dibuat karena diniat atau sesuatu yang timbul dari hati misalnya: seseorang pergi haji ditengah perjalanan, ia mempunyai niat maksiat, bolehkah ia melakukan shalat dengan jama' qashar? Ada pendapat yang membolehkan karena dia dalam keadaan musafir kemudian ada yang tidak membolehkan karena terhalang oleh niatnya.

Contohnya: apabila ayah wafat, istri dan anak mendapatkan pembagian warisan dan harta suami atau ayah yang wafat, sesuai dengan pembagian masing-masing tetapi hak mewarisi bisa terhalang apabila anak atau istri yang membunuh suami atau ayah tersebut.

Disini ada catatan karena separuh dari keadaan ini yang berbunyi.

المانع الطري هل هو كالمقارن؟.

"Halangan yang datang kemudian itu, baginya dikenal hukum halangan yang berbareng"

Maka timbullah kaidah yang berbunyi.

يغتفر فى الدوام الا يغتفر فى الابتداء.

"Sesuatu diperlukan tidak diampuni di dalam kelanjutan diampuni"[7]

Analisis

Halangan yang datang kemudian itu, apakah ia seperti yang membarengi?

Kaidah ini menerangkan bahwa halangan bisa menjadi halangan atas perbuatan yang khusus atau tidak artinya sesuatu yang sudah menjadi tujuan kemudian ada pehalang maka itu bisa memberengi atau tidak. Contoh yang muttafaq "Mani' Thory" dianggap sebagai mani' (halangan), misalnya suami istri yang kawin secara Islam kemudian istri murtad, maka nikahnya menjadi penghalang.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Hukum Islam adalah tata aturan Islam yang mencakup dan memberikan ketentuan hukum terhadap semua perbuatan manusia dalam segala keadaannya, baik dalam urusan pribadinya, dalam hubungan masyarakat dimana ia hidup, atau dalam hubungannya sebagai umat lain, atau dengan lain perkataan dalam hubungan dalam hubungan antar negara maka di dalam hukum Islam timbullah beberapa kaidah-kaidah yang memang dijadikan sebagai pandangan terhadap umat manusia. Dimana dari banyak sekian akidah di depan sudah dijelaskan hingga terperinci dengan keterangan di atas semoga menjadi manfaat bagi umat khususnya bagi yang membaca. Amiin.

DAFTAR PUSTAKA

- Imam musbikin, Qawaid al-Fiqhiyah, PT.Grafindo Persada, Jakarta.2001

- KH. Bisri Mustofa. Al-Faroidul al-Bahiyah, Menara Rembang 1997

- Ibnu hamzah, Alhuzaini ad-Damsyqi, Asbabul Wurud Latar Belakang Historis Timbulmya Hadis-Hadis Rasul.

- Ahmad Hanafi MA, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam (Jakarta. PT. Bulan Bintang).1995



[1] Imam Musbikin, Qawaid Al-Fiqiyah (Jakarta, PT. Raja Grafindo-Persada: thn 2001), hlm.197

[2] Ibnu Hamzah al-Hanafi Ad Damsyiqi Asbabul Wurud Al-Fiqiyah. Latar Belakang Historis Timbulnya Hadts-Hadits Rasul (Jakarta, Kalam Mulia: 2002), hal.11.

[3] K.H. Bisri Mustofa. Al-Fara-idul Bahiyyah (Rembang; -Menara, 1977 M), hal.81.

[4] Ibid. hlm.200.

[5] Ibid al-Fara idul Bahiyah (Rembang Menara, 1977) hlm.82.

[6] Ibid Qowaid al-fiqhiyah. Hlm.201.

[7]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

mohon ... klo udah baca posting kami, jangan lupaaaaaaaaaaaa kasi komentar yaaa .... n saran konstruktif ....................


thanks yaa atas komentar kaliaaannnnnnnnnnnnnnn !!!!!