KONSEP PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF AL-ATTAS
MAKALAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam Yang Dibina Oleh Bapak Siswanto, M.Pd.I
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
APRIL 2009
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul Konsep Pendidikan Dalam Perspektif Al-Attas. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita nabi besar muhammad SAW serta pada pengikutnya sampai akhir zaman.
Pada kesempatan ini kami pergunakan untuk mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini khususnya kepada Bapak Siswanto, M.Pd.I selalu dosen pembimbing dari mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam.
Dan kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya. Karena itu saran dan kritik dari para pembaca sangat kami harapkan dan akan diterima dengan hati terbuka.
Akhirnya kepada-Nya jualah kami mohon taufik dan hidayah-Nya, semoga makala ini bermanfaat. Amien .…
Pamekasna, Mei 2009
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini, pendidikan umat manusia telah banyak dipengaruhi berbagai bentuk etika barat dan timur yang demikian membingungkan. kebingungan ini terakumulasi pada keretakan nilai-nilai moralitas. kondisi ini dipertajam dengan dualisme yang berkembang dalam dunia pendidikan. disatu sisi pendidikan mampu membangun peradaban yang ideal, akan tetapi disisi lain melalui kesalahan sistem dan nilai yang diambil, pendidikan bisa menjadi bomerang terciptanya dismoralitas dan ketidak karuan kehidupan umat. selanjutnya dalam makalah kami akan dipaparkan seperti apa pandangan Naquib Al-Attas tentang pendidikan.
B. Rumusan Masalah
- Siapakah Naquib Al-Attas?
- Apa saja pikiran-pikiran Al-Attas dalam pendidikan?
- Apa saja sumber sebuah metode epistimologi yang ditawarkan Al-Attas?
- Seperti apa pandangan Al-Attas tentang moralitas sebuah pendidikan?
C. Tujuan
- Mengetahui siapa sebenarnya Al-Attas
- Mengetahui pemikiran Al-Attas tentang pendidikan
- Mengetahui sumber sebuah metode yang digunakan Al-Attas
- Mengetahui pandangan Al-Attas tentang moralitas pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup Naquib Al-Attas
Syed Muhammad Naquib Al-Attas dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 5 september 1931. Pada waktu itu Indonesia berada dibawah kolonial Belanda. Bila dilihat dari garis keturunannya, Al-Attas termasuk orang yang beruntung secara inheren. Sebab dari kedua belah pihak, baik pihak ayah maupun ibu merupakan orang-orang yang berdarah biru. Ibunya yang asli bogor itu masih keturunan bangsawan sunda. sedangkan pihak ayah masih tergolong bangsawan Johor.[1] bahkan mendapat gelar sayyed yang dalam tradisi islam orang yang mendapat gelas tersebut merupakan keturunan langsung dari nabi Muhammad.
Melihat garis keturunannya dapat dikatakan bahwa Al-Attas merupakan “bibit unggul” dalam percaturan perkembangn intelektual islam di Indonesia dan Malaysia. faktor interen inilah yang membentuk karakter dasar dalam dirinya. bimbingan orang tua selama lima tahun pertama merupakan penanaman sifat dasar bagi hidupnya kelak. ketika berusia 5 tahun, Al-Attas diajak orang tuanya migrasi ke Malaysia. Da Al-Attas dimasukkan dalam pendidikan dasar Ngee Heng School sampai usia 10 tahun. ketika Malaysia disuasai Jepang, Al-Attas dan keluarganya pindah ke Indonesia. dan kemudia melanjutkan pendidikan di sekolah Urwah al Wusqa, Sukabumi selama lima tahun. Di tempat ini Al-Attas mulai mendalami dan mendapatkan pemahaman tradisi islam yang kuat, terutama tarekat. Hal ini bisa dipahami, karena saat itu, di Sukabumi telah berkembang perkumpulan tarekat Naqsabandiyah.[2]
terusik oleh panggilan nuraninya untuk mengamalkan ilmu yang telah diperolehnya di Sukabumi, Al-Attas kembali ke Malaysia dan memasuki dunia militer dengan mendaftarkan diri sebagai tentara kerajaan untuk mengusir penjajah Jepang. Setelah Malaysia merdeka (1957), Al-Attas mengundurkan diri dari dinas militer dan mengembangkan potensi dasarnya yakni bidang intelektual. Dia masuk Universitas Malaya selama dua tahun. Berkat kecerdasan dan ketekunannya, Al-Attas dikirim pemerintah Malaysia untuk melanjutkan studi di Institute of Islamic Studies, MacGill, Canada. tahun 1959-1962 Al-Attas berhasil menggondol gelar master dengan mempertahankan tesis Raniry and the Wujudiyyah of 17th Century Aceh, dengan alasan bahwa dia ingin membuktikan islamisasi yang berkembang di kawasan tersebut bukan dilaksanakan oleh konial Belanda, melainkan murni dari upaya umat islam sendiri.
Belum puas dengan pengembangan intelektualnya, Al-Attas melanjutkan studi ke School of Oriental and African Studies di Unversitas London selama kurang lebih dua tahun (1963-1965), dengan bimbingan Martin Lings, Al-Attas menyelesaikan perkuliahan dengan menyelesaikan disertasinya yang berjudul the Mysticism of Hamzah Fansuri. Salah satu pengaruh yang besar dalam diri Al-Attas adalah sumsi yang mengatakan bahwa terdapat intergritas antara realitas metafisis, kosmologis dan psikologis.
Memasuki tahapan pengabdian kepada islam, Al-Attas memulai dengan jabatan di jurusan kajian melayu pada Universitas Malaya. Hal ini dilaksanakan tahun 1966-1970. Disini dia menekankan arti pentingnya mendalami proses islamisasi di Indonesia dan Malaysia. Kebanyakan yang dibicarakan dalam karya melayu adalah ajaran islam terutama tasawuf.
pada tanggal 22 November 1978 berdirilah secara resmi ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Vilization) dengan Al-Attas sebagai ketuanya, yang mana dalam lembara pengajaran dan penelitiannya dikhususkan pada pemikiran islam terutama filsafat sebagai jantung proses islamisasi.
B. Pemikiran Al-Attas tentang Pendidikan
Paradigma pemikiran Al-Attas bila dikaji secara historis merupakan sebuah pemikiran yang berawal dari dunia metafisis kemudian ke dunia kosmologi dan bermuara pada dunia psikologis. Bila dilihat secara seksama, maka pemikiran Al-Attas berawal dari keprihatinannya terhadap penyempitan makna terhadap istilah-istilalh ilmiah islam yang disebabkan oleh upaya Westernisasi mitologi. Pemasukan hal-hal yang magis (gaib) dan sekularisasi. Untuk menanggulangi distorsi atau bahkan mengembalikannya pada proposi yang sebenarnya, Al-Attas memperkenalkan dan mengemukakan proses de-westernisasi dan islamisasi sebagai logika awal membengun paradigma pemikiran kontemporer.
1. De westernisasi dan islamisasi
Terma dewesternisasi mempunyai arti pembersihan dari westernisasi. Jika westernisasi dipahami sebagai pembaratan atau mengadaptasi, meniru dan mengambil alih gaya hidup barat.[3] Maka dewesternisasi dipahami sebagai upaya penglepasan sesuatu dari proses pembaratan, atau dengan kata lain memurnikan sesuatu dari pengaruh barat. Dalam batasan Al-Attas dewesternisasi adalah proses mengenal, memisahkan dan mengasingkan unsur-unsur sekuler (substansi, roh, watak dan kepribadian kebudayaan serta peradaban barat) dari tubuh pengetahuan yang akan merubah bentuk-bentuk, nilai-nilai dan tafsiran konseptual isi pengetahuan seperti yang disajikan sekarang.[4]
terlepas dari objek dewesternisasi A-Attas pada dasarnya upaya tersebut merupakan pemurnia ajaran islam dari segala pengaruh barat. Bila dilacak lebih jauh upaya yang demikian ini mempunyai karakteristik yang sama dengan pemurnian yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdul Wahab mengarah pada ajaran-ajaran dasar islam yang meliputi tauhid dan syari’ah. pada saat ini, kemurnian tauhid masyarakat telah dirusak oleh ajaran-ajaran tarekat sejak abad ke-13. Paham animisme juga telah ikut menodai kemurnian ajaran tauhid. Semua noda tauhid tersebut oleh al-Wahab harus diberantas, sehingga terkenal dengan sebutan wahabisasi. Upaya yang dilakukan al-Wahab ini mendapat dukungan kuat dari pemberintah Saudi Arabia.
Wlaupun demikian, secara simplistis dapat dikatakan bahwa Al-Attas terinspirasi oleh gerakan Wahabi. Sebab, dalam pandangan Al-Attas sendiri suluk-suluk sufi merupakan ajaran yang sangat penting dalam tarekat islam. Sedangkan tarekat itu sendiri merupakan institusi lanjutan dair praktik-praktik tasawuf. Karenanya, paling tidak dapat dikatakan bahwa meskipun antara gerakan wahabi dan pemikiran dewesternisasi Al-Attas mempunyai karakeristik yang sama, yakni pemurnian ajaran islama dan mendapat dukungan pemerintah, akan tetapi mempunyai berbagai perbedaan.
Pertama. tentang objek dan sasaran. Bila wahabi memberantas noda-noda yang mengotori ajaran tauhid, maka de-westernisasi yang dikembangkan Al-Attas mempunyai sasaran pembersihan noda-noda yang mengotori pengetahuan (“ilm). Kedua. sikap terhadap praktik sufi. Bila wahabi bersikap keras terhadap praktik-praktik sufi yang telah melembaga menjadi berbagai tarekat. Maka de-westernisasi justru berangkan dari pemahaman secara mendalam terhadap praktik-praktik sufi tersebut, khususnya tentang tingkatan-tingkatan dalam suluk-suluknya. Ketiga. titik berangkat. Bila wahabi berangkat dari tindakan-tindakan menyimpang yang bersifat praktis, maka de-westernisasi berangkat dari isu-isu pemikiran yang tersifat teoritis. Upaya de-westernisasi tidak akan mempunyai signifikasi bagi umat islam bila tidak didukung dengan islamisasi. islamisasi dalam pandangan al-Attas adalah proses pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animis, tradisi-nasionalis dan kultural serta sekularisme. Ia terbebas dari kedua pandangan dunia yang magis dan sekuler.[5]
Bila dilihat pernyataan al-Attas proses de-westenisasi dan islamisasi di atas yang menjadi kendali utuma adalah manusia. Jika melalui suatu tafsiran alternatif tersebut manusia mengetahui hakikat dirinya serta tujuan sejati hidupnya dan dengan mengetahui ia mencapai kebahagiaannya, maka pengetahuan walaupun tercelup dengan unsur-unsur tertentu yang menentukan bentuk karakteristik di mana pengetahuan itu dikonsepsikan, dievaluasi dan ditafsirkan sesuai dengan pandangan tertentu, dapat disebut sebagai pengetahuan yang sejati, karena pengetahuan seperti itu telah memenuhi tujuan manusia dalam mengetahui segalanya.[6]
Dengan melihat perjalanan sejarah umat islam terutama pada masa Abbasiyah, strategi Al-Attas yang memiliki peluang lebih berhasil didasarkan pada beberapa alasan, yaitu :
Pertama. Posisi umat islam, Posisi umat islam saat ini, pasca keruntuhan paham sosialis-komunis, menjadi satu-satunya paham yang berseberangan dengan paham kapitalisme Barat. Dalam posisi yang demikian, maka pandangan-pandangan dunia islam yang murni menjadi sorotan utama bagi pakar pemikiran international.
Kedua. sumber daya manusia merupakan asset yang paling dominan. sehingga sumber daya manusia yang islami secara inheren akan memiliki pandangan dunia yang islami dan mengamalkan nilai-nilai yang islami pula.
Ketiga. Disiplin ilmu merupakan benda mati. Upaya islamisasi ilmu dengan mengarahkan pada disiplin itu sendiri pada dasarnya tidak akan mempunyai arti bila tidak berada di tangan orang-orang yang mempunyai pandangan mendunia dan mengamalkan nilai-nilai islam.
C. Sumber dan Metode Epistimologi Islam
Sumber dan metode ilmu. Al-Attas mengatakan bahwa ilmu datang dari Tuhan dan diperoleh melalui sejumlah saluran: indera yang sehat, laporan yang benar yang disandarkan pada otoritas, akan yang sehat dan intuisi.
1. Indera-indera Lahir dan Batin
Dengan menyebutkan istilah “istilah yang sehat” maka yang dimaksud adalah indera lahiriah yang meliputi perasa tubuh, pencium, perasa lidah, penglihatan dan pendengar yang semuanya berfungsi untuk mempersepsi hal-hal partikular. terkait dengan pancaindera (indera lahariah) di atas adalah lima indera batin yang secara batiniah mempersepsi citra-citra inderawi dan maknanya, menyatukan atau memisah-misahkannya, mencerap (mengkonsepsi) gagasan-gagasan tentangnya, menyiapkan hasil-hasil penyerapan itu dan melakukan inteleksi terhadapnya. kelima indera batin tersebut ialah indera umum (commonsense), representasi, estimasi, ingatan dan pengingatan kembali serta imajinasi.
Sebagai upaya reaktualisasi pemikiran filsafat islam klasik, maka pemikiran Al-Attas dalam masalah ini telah mampu mengelaborasikan dengan pandangan metafisika. Dalam pandangannya antara metafisika dan epistemologi merupakan sebuah sistem yang integral. Sebab, metafisika merupakan landasan utama bagi epistimologi. Sementara asumsi dasar yang menjadi mainstream Al-Attas adalah keyakinan adanya integritas yang kuat antara dimensi metafisis, kosmologis, dan psikologis. Bisa dikatakan bahwa manusia adalah miniatur alam, dan yang sering disebut mikrokosmos.
2. Akan dan intuisi
Integrasi antara akan dan intuisi dalam epistimologi islam merupakan sebuah keharusan. Sebab, di antara dua unsur di atas walaupun mempunyai karakteristik berbeda, yaitu bila akan mengarah pada hal-hal intelligible yang diupayakan sedangkan intuisi mengarah pada hal-hal esensible yang dianugerahkan, akan tetapi merupakan unsur yang sama. Al-Attas tidak membatasi akan pada unsur-unsur inderawi, dia jugatidak membatasi intuisi pada pengenalan langsung, tanpa perantara, oleh objek yang mengenali tentang dirinya sendiri, keadaan sadarnya, diri-diri lain yang seperti dirinya, dunia lahiriah, hal-hal universal, nilai-nilai atau kebenaran-kebenaran rasional. Intuisi juga sebagai pemahaman langsung akan kebenaran-kebenaran sebaga lawan dari esensi. Dalam tingkatan yang lebih tinggi intuisi adalah intuisi terhadap eksistensi itu sendiri.
Disini semakin jelas bahwa objek intuisi bukan hanya berkenaan dengan hal-hal yang bersifat Dlarury, malainkan juga termasuk hal-hal yang bersifat hudluriy. Maksudnya dengan melakukan upaya-upaya keras secara teratur dan dengan ketekunan dan kedisiplinan diri secara mantap dan kuat, seorang akan mampu mendapatkan intuisi yang berkenaan dengan hal-hal yang menjadi keinginannya (niat) kuat, termasuk yang berhubungan dengan langsung dengan esksistensi. Karena intuisi tidak terbatas pada objek yang “diberikan” atau “dianugerahkan”, maka sebagai konsekuensi logisnya manusia yang mampu mencapainya tidak terbatas pada orang-orang tertentu.
3. Otoritas
Dalam masalah laporan yang benar sebagai jalan diperolehnya ilmu, Al-Attas membaginya ke dalam dua macam. Pertama, laporan yang disampaikan secara berangkai dan tidak terputus oleh sejumlah orang dan tidak masuk akan jika mereka dianggap dengan sengaja bermaksud membuat dusta bersama-sama.
Otoritas jenis pertama yang termasuk di dalamnya sarjana, ilmuwan dan orang yang berilmu pada umumnya dapat dipersoalkan oleh nalar da pengalaman. Kedua, laporan atau pesan yang dibawa Rasulullah SAW otoritas jenis kedua bersifat mutlak. Otoritas pada akhirnya didasarkan pada pengalaman intuitif, yaitu baik yang terkait dengan tatanan indera dan realitas inderawi, maupun yang terdapat dalam realitas transendental, seperti intuisi pada tingkat-tingkat yang lebih tinggi. Otoritas yang tertinggi dalam paradigma islam adalah Al-qur’an, kemudian Al-sunnah yang terbukti keabsahannya. Dengan demikian, paradigma islam memiliki otoritas yang bertingkat. Tentunya tingkat transendental dan mutlah lah yang menempati posisi utama dan selanjutnya menuju pada yang bersifat imanen-relatif.[7]
D. Moralitas dan Pedidikan
Moralitas dan pendidikan merupakan lanjutan dari pemikiran manusia tentang konsep agamanya. Bila dalam islam dikenal istilah din, maka konsep yang menjadi kajian pertama sebelum mengkaji tentang hal-hal lain adalah konsep din itu sendiri. Terminologi yang menjadi sorotan utama yang berkaitan dengan topik moralitas dan pendidikan adalah terma din.
Konsep din mengandung setidaknya empat arti, yaitu Keberhutangan (indeb tedness), Kepatuhan (submissiveness), Kekuasaan bijaksana (judicitus power) dan kecenderungan alami atau tendensi (natural inclition or tendency). Konsep ini secara inheren mengandung kepercayaan (iman), kepatuhan dalam kebaktian (islam) dan keterbaduan antara hati, pikiran dan perbuatan dalam bentuk ketaatan dan kesetiaan untuk mencapai kebaikan tertinggi (ihsan). Semua ini yang menjadi lokomotifnya adalah ilmu. Oleh karena itu, pemahaman tentang hakikat ilmu dan klasifikasinya perlu diuraikan labih lanjut.
Setidaknya ada dua macam pengetahuan. Pertama, adalah santapan dan kehidupan jiwa itu yang cara perolehannya diberikan oleh Allah. Pengetahuan yang diberikan oleh Allah ini meliputi Al-qur’an, Sunnah, syair’ah, ilmu ladunni dan hikmah yang berupa pengetahuan dan kearifan.
Sedangkan konsep pengetahuan dan kearifan sangat erat kaitannya dengan moralitas dan pendidikan. Sebab moralitas dan pendidikan merupakan sebuah unifikasi yang tidak mungkin berasal dari bahasa arab ’arif.
Kearifan, menurut Al-Attas adalah pengetahuan yang diberikan Allah untuk memungkinkan si pemilik pengetahuan untuk menerapkan dengan kebijaksanaan sedemikian rupa sehingga timbul keadilan, yang secara inheren mengandung pengertian pengetahuan. Perwujudan lahiriyah dan keadilan, tidak lain adalah terjadinya adab di dalam kehidupan individu dan komunitas masyarakat diman ia berada.
Kedua, tujuan pengajaran yang operasionalistik dan pragmatis yang cara perolehannya dapat dilakukan melalui pengalaman, pengamatan dan penelitian. Pengetahuan ini mempunyai arti luas, deduktif dan berkaitan dengan objek-objek yang bernilai pragmatis. Sebagai implementasi dari jenis pengetahuan yang kedua ini, bertujuan membentuk manusia yang baik dan beradab. Bukan negara atau masyarakat yang baik dan beradab. Sebab bila masing-masing manusia yang merupakan miniatur atau representasi mikrokosmos (alam al-shaghir) dari makrokosmos (alam al-kabir) sudah baik dan beradab. Maka dengan sendirinya semuanya menjadi baik dan beradab.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari apa yang telah dipaparkan, dapat ditarik kesimpulan :
1. Syed Muhammad Naquib Al-Attas yang lahir di Bogor Jawa Barat ini adalah termasuk oroang yang beruntung secara inheren, karena orang tuanya golongan darah biru yang selanjutnya membentuk karakter dasar dalam dirinya dan merupakan bibit unggul dalam percaturan perkembangan intelektual islam di Indonesia dan Malaysia.
2. Paradigma pemikiran Al-Attas jika dikaji secara historis merupakan sebuah pemikiran yang berawal dari dunia metafisis kemudian kedua kosmologis dan bermuara pada dunia psikologis.
3. Al-Attas mengatakan sumber dan metode ilmu datang dari Tuhan dan diperoleh melalui indera yang sehat, laporan yang benar yang disandarkan pada otoritas, akal yang sehat dan intuisi.
4. Moralitas dan pendidikan merupakan lanjutan dari pemikiran manusia tentang konsep agamanya. Sebagaimana diketahui Al-Attas mempunyai kelebihan tersendiri dalam mencari akar dari terminologi yang telah tereduksi oleh proses sekularisasi dan yang menjadi sorotan utama dari moralitas dan pendidikan adalah terma din.
B. Saran
Orang bijak mengatakan bahwa “tak ada gading yang tak retak”. Tidak ada sesuatupun dijagad raya ini yang sempurna. Kesempurnaan hanya milik Allah SWT semata. Begitu pula dengan penyajian makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu kami mengharapkan masukan-masukan yang berupa kritik maupun saran yang bersifat membangun guna pembuatan makalah selanjutnya. Sehingga kami dapat membenahi sedikit demi sedikit kesalahan maupun kekurangan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Abany, Hasan Muarif, et. al., Suplemen Ensiklopedi Islam. Jilid 2, Jakarta: PT Ichtiar Van Hoeve, 1995
Bruinessen, Martin Van, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia. Bandung: Mizan, 1996
Echols, John M. dan Hasan Shadily, Kamus Inggris
Nizar Samsul, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pers, 2002
___________, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Baya Media, 2001
Ramayulis dan Samsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Quantum Teaching, 2005
SMN Al-Attas, Islam dan Sekularisme, Bandung: Penerbit Pustaka, 1981
[1] Hasan Muarif Abany, et. al., Suplemen Ensiklopedi Islam. Jilid 2 (Jakarta: PT Ichtiar Van Hoeve, 1995), hal., 78
[2] Martin Van Brunessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia. (Bandung: Mizan, 1996), hal., 170
[3] John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia 1993), hal., 643
[4] SMN Al-Attas, Islam dan Sekularisme, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1981), hal., 126
[5] ibid. islam dan sekularisme. hal., 61
[6] ibid.hal., 203
[7] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hal., 192
Tidak ada komentar:
Posting Komentar